Harga Rokok Murah Bisa Berujung Anak Stunting

Dampak dari harga rokok murah bisa mengakibatkan anak stunting.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 14 Sep 2019, 18:00 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2019, 18:00 WIB
Bungkus Rokok atau Kemasan Rokok
Harga rokok murah bisa sebabkaan anak stunting. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Harga rokok yang murah ternyata bisa memengaruhi anak mengalami stunting. Di Indonesia, harga rokok saat ini masih tergolong murah. Rata-rata rokok dijual Rp17.000 per bungkus. Bahkan praktik penjualan rokok dalam bentuk eceran masih dilakukan di berbagai tempat. 

Kondisi gagal pertumbuhan pada anak akibat kekurangan gizi kronis, yang dipengaruhi harga rokok murah, khususnya dialami anak dari keluarga miskin. Temuan tersebut sesuai hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI).

"Kami menemukan, konsumsi rokok berhubungan secara signifikan dengan kemiskinan, stunting pada balita, dan tingkat kecerdasan anak yang rendah," kata Ketua Tim Peneliti PKJS-UI Teguh Dartanto, sebagaimana keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Jumat (13/9/2019).

Teguh dan tim melakukan studi kasus terhadap keluarga dengan balita stunting di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Terbukti, keluarga tidak bisa memenuhi kebutuhan makanan bernutrisi karena orangtua memilih menggunakan uang untuk membeli rokok.  

“Studi kasus yang dilakukan di Demak membuktikan adanya shifting kebutuhan penting untuk belanja rokok sehingga anak mengalami stunting. Bahwa perilaku merokok dapat menghambat pembangunan sumber daya manusia (SDM) dari berbagai aspek seperti kesehatan, pendidikan, dan sosio-ekonomi pada generasi selanjutnya,” tambah Manajer Program Pengendalian Tembakau PKJS-UI Renny Nurhasana.

Studi harga rokok murah dan stunting dilakukan oleh Teguh dan tim pada tahun 2018 dengan mengeksplorasi data Indonesia Family Life Survey (IFLS).

Simak Video Menarik Berikut Ini:

Perilaku Keluarga Miskin

Bungkus Rokok atau Kemasan Rokok
Keluarga miskin banyak beli rokok. (iStockphoto)

Menurut studi PKJS-UI pada 2019 terhadap perilaku merokok pada keluarga miskin penerima dana bantuan sosial (bansos), konsumsi rokok (nilai dan kuantitas) pada keluarga dalam kategori tersebut lebih besar dibandingkan bukan penerima bansos. 

“Keluarga penerima Program Keluarga Harapan atau PKH membelanjakan Rp3.660 per kapita per minggu dan 3,5 batang (rokok) per kapita per minggu lebih tinggi dibandingkan keluarga yang bukan penerima PKH. Pada dasarnya bansos itu program dengan tujuan yang bagus tapi kurang efektif akibat perilaku merokok keluarga penerima program,” lanjut Teguh yang juga Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI ini.

Padahal, program bansos berupaya mengentaskan kemiskinan dan bantuan pendidikan serta kesehatan Ironisnya, perilaku merokok banyak ditemukan pada keluarga penerima dana bansos. 

Habiskan Pendapatan dengan Belanja Rokok

Ilustrasi Industri Rokok
Keluarga miskin habiskan pendapatan dengan beli rokok. Ilustrasi Industri Rokok

Berdasarkan wawancara mendalam kepada keluarga penerima bansos di Kota Malang dan Kabupaten Kediri, Jawa Timur, rata-rata dalam kondisi ekonomi pas-pasan. Walaupun begitu, mereka tetap menghabiskan sebagian besar pendapatan untuk belanja rokok.

"Mereka bisa belanja rokok hingga dua bungkus per hari. Sementara itu, keluarga penerima dana bantuan sosial masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dan tempat tinggal yang layak karena mengabiskan anggaran buat belanja rokok," Teguh menambahkan.

Mereka menghabiskan hampir setengah dari kebutuhan sehari-hari. Artinya, pembelian kebutuhan pangan yang bergizi untuk anak kurang maksimal. Pada akhirnya, anak bisa stunting.

Adanya penelitian harga rokok dan stunting membuktikan harga rokok masih terjangkau bagi kelompok masyarakat miskin. Rokok, lanjut Teguh, memang harus mahal jika ingin kesejahteraan masyarakat meningkat. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya