12 Anak dari Satu Pendonor Sperma Didiagnosis Autisme

Seorang pendonor sperma asal Amerika Serikat dituntut atas pemalsuan identitas dan ketidaklengkapan informasi mengendai kondisi medisnya

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Okt 2019, 22:00 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2019, 22:00 WIB
20151102-Ilustrasi Sperma atau Sel Reproduksi Laki-laki
Ilustrasi Sperma atau Sel Reproduksi Laki-laki. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Seorang pendonor sperma asal Amerika Serikat dituntut atas pemalsuan identitas dan ketidaklengkapan informasi mengendai kondisi medisnya. Ia merupakan ayah dari 12 anak yang didiagnosis mengalami autisme.

Kasus ini bermula ketika Rizzo, ibu dari dua anak penerima donor sperma mengamati kedua putranya yang mengalami autisme. Kedua putranya merupakan hasil donor sperma dari orang yang sama.

Rizzo semakin terkejut ketika menemukan bahwa para ibu lainnya yang menggunakan donor sperma yang sama juga memiliki anak laki-laki dengan autisme.

Jadi, apakah autisme menurun secara genetik?

Menurut National Institutes of Health (NIH), AS, terdapat ratusan variasi genetik terkait autisme. Artinya, faktor genetik biasanya hanya memainkan sebagian peran dalam risiko pengembangan autisme.

Dilansir dari Live Science, terdapat faktor lain yang mendukung autisme, seperti lingkungan, usia, orangtua, dan komplikasi ketika melahirkan.

 

Faktor lain penyebab autisme

Tetapi dalam beberapa kasus, genetik dianggap sebagai penyebab utama autisme. Menurut data NIH, sekitar 2 persen hingga 4 persen orang dengan autisme yang disebabkan oleh genetik.

"Kami setuju bahwa autisme adalah satu hal yang berbeda pada setiap orang. Penyebabnya bisa berhubungan dengan genetik. Beberapa juga disebabkan oleh kombinasi gen dan lingkungan," ucap Wendy Chung, dokter di Columbia University, New York.

Hasil penelitian dari anak-anak Rizzo menemukan bahwa kedua putranya memiliki genetik yang terkait dengan autisme, yang disebut MBD1 dan SHANK1.

Laporan yang dibuat oleh Rizzo mengungkapkan, sang pendonor tidak memberikan informasi yang lengkap dan benar. Misalnya, pendonor tidak memiliki gelar sarjana seperti apa yang tercantum dalam profilnya.

Data diri tentang pendonor tersebut juga menghilangkan informasi bahwa dirinya didiagnosis dengan ADHD. Rizzo akhirnya menuntut pendonor melalui jalur hukum.

Penulis: Diviya Agatha

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya