Liputan6.com, Jakarta Lingkungan di rumah yang tidak kondusif bisa menjadi faktor yang memengaruhi anak menjadi psikopat. Lain halnya, apabila rumah yang bernuansa kasih sayang dan kehidupan orangtua yang penuh cinta dapat menjauhkan anak dari perilaku menyimpang.
Lantas lingkungan di rumah seperti apa yang membuat anak berpotensi perilaku menyimpang, terutama mengarah pada kecenderungan menjadi psikopat? Psikolog anak Seto Mulyadi menyebut, beberapa faktor.
Advertisement
"Perilaku menyimpang bisa terbentuk pada anak yang tumbuh di lingkungan tidak kondusif. Tapi kalau anak, misalnya, tinggal di lingkungan yang kumuh dan warga sekitar peduli pada anak, saling memerhatikan anak, maka kecenderungan psikopatik bisa ditekan," papar Kak Seto, sapaan akrabnya, melalui siaran Live, ditulis Senin (9/3/2020).
"Sebaliknya, kalau anak tinggal di lingkungan menengah ke atas, tapi tidak mendukung. Ibu bapaknya bertengkar, perkelahian rumah tangga, tidak ada perhatian kepada anak, dan kekerasan di rumah. Faktor-faktor itu justru menjerumuskan anak mengembangkan bakat psikopat. Ditambah lagi kalau anak sudah terlihat mengarah psikopatik."
Salah satu tanda anak mengarah psikopatik, di antaranya suka menyiksa hewan, seperti yang terjadi pada remaja bunuh bocah 6 tahun. Ia sering menyiksa dan membunuh hewan, seperti kodok hingga cicak. Bahkan ia juga pernah melempar kucing peliharaannya dari lantai dua karena kesal.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Figur Orangtua
Pada kasus NF (15) yang membunuh APA (6) di Jakarta Pusat pda Kamis (5/3/2020), orangtua NF dikabarkan sudah bercerai. Sehari-hari, remaja itu tinggal di rumah bersama ayah dan ibu tirinya.
Pihak kepolisian sampai saat ini masih memeriksa orangtua NF. Pemeriksaan juga terkait, apakah perceraian orangtua berdampak pada kejiwaan NF, yang mana kecenderungan tindakan NF mengarah psikopatik.
Sebuah pertanyaan terlontar, selain lingkungan yang tidak kondusif, figur ibu atau ayah yang mungkin berperan sehingga membuat anak bertindak menghilangkan nyawa orang lain?
"Yang benar adalah dua-duanya. Setiap anak punya sosok, figur orangtua, baik feminim maupun maskulin. Jadi, ada keseimbangan supaya mereka bisa mengembangkan interaksi sosial nanti saat dewasa. Bagaimana menghadapi sesama jenis, lawan jenis, dan sebagainya," jelas Kak Seto, yang juga Ketua Umum LPAI.
Advertisement