Kepala BKKBN: Selain Pandemi COVID-19, Perkawinan Anak Juga Bagian dari Bencana Nasional

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) menyampaikan bahwa mencegah perkawinan anak adalah hal yang sangat penting.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 02 Jul 2020, 22:00 WIB
Diterbitkan 02 Jul 2020, 22:00 WIB
Hasto Wardoyo
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) dalam webminar cegah perkawinan anak, Kamis (2/7/2020).

Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) menyampaikan bahwa mencegah perkawinan anak adalah hal yang sangat penting. Menurutnya, perkawinan anak dapat membawa dampak negatif bagi anak dari berbagai segi termasuk kesehatan.

“Perkawinan anak berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Ketika mereka menikah, banyak proses pertumbuhan dan perkembangan yang tidak berlanjut sebagaimana mestinya,” ujar Hasto dalam webminar BKKBN, Kamis (2/7/2020).

Secara biologis, tambahnya, pertumbuhan tulang belum berhenti pada usia 15 tahun. Ketika anak mengalami kehamilan maka pertumbuhan tulang berhenti dan anak tersebut tidak memiliki kesempatan menjadi perempuan yang lebih tinggi badannya.

“Pada usia 32 tahun adalah puncak kepadatan tulang, maka itu pun tidak akan tercapai jika melakukan perkawinan usia dini. Sehingga nasibnya ketika menopause di usia 51 tahun dan indung telur sudah tidak memproduksi estrogen maka mereka yang hamil di usia anak akan mengalami keropos tulang lebih cepat.”

Terjadinya keropos tulang lebih awal akan menyebabkan kebungkukan lebih awal pula jika dibanding dengan perempuan lain.

“Selain pandemi COVID-19, sebetulnya perkawinan anak juga adalah bagian dari bencana nasional karena juga menggerogoti secara ekonomi dan juga mengancam kematian ibu, kematian bayi, stunting dan seterusnya.”

Simak Video Berikut Ini:

Memicu Kanker Mulut Rahim

Perkawinan anak juga berdampak pada sistem reproduksi. Di usia yang belum cukup, mulut rahim masih menghadap keluar sehingga ada daerah berupa batas luar dan batas dalam mulut rahim yang rentan menjadi tempat terjadinya kanker serviks.

“Pada usia anak-anak mulut rahim masih menghadap keluar dan apabila terkena trauma akibat sktivitas seksual maka di kemudian hari akan terjadi kanker mulut rahim.”

Selain dari sisi kesehatan reproduksi, perkawinan usia anak juga merenggut hak-hak anak untuk mendapat pendidikan yang layak. Lebih jauh lagi, anak tidak bisa menolak jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga karena belum memiliki sifat kedewasaan.

“Juga negara relatif dirugikan karena secara ekonomi perkawinan anak merugikan hampir 1.7 persen pendapatan negara bisa hilang hanya karena perkawinan pada usia anak.”

Menurut Hasto, usia yang cukup secara biologi adalah di antara 20 hingga 35 tahun. Ia pun menganjurkan untuk menghindari “4 terlalu.”

“Yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu banyak melahirkan. Karena inilah yang menjadi sumber kematian ibu dan bayi.”

Kurangnya Informasi

Kurangnya informasi dan pemahaman tentang bahaya perkawinan usia anak disebut sebagai faktor pemicu.

“Salah satu hal yang menyebababkan kejadian tersebut adalah kurangnya informasi terhadap kesehatan reproduksi dan masalah seksual yang membuat remaja semakin rentan. Mereka tidak memiliki pengetahuan sehingga cara pikirnya pun berbeda.”

Menurutnya, remaja tidak mengetahui akibat dari berhubungan seks yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya penyakit seperti kanker mulut rahim dan kehamilan dengan risiko tinggi. Pada akhirnya hal tersebut dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian bayi.

“Salah satu solusi menangani perkawinan anak adalah pemberian pendidikan reproduksi. Sejak Juli 2019 BKKBN sudah melakukan terobosan baru dengan merilis web siapnikah.org, dengan harapan kami bisa lebih dekat dengan anak dan remaja dalam memberi pemahaman dan konseling terkait kesiapan nikah.”

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya