Maraknya Klaim Obat COVID-19, YLKI Ungkap Penyebabnya

YLKI mengungkapkan, lemahnya penegakan hukum dan buruknya penanganan wabah juga berperan dalam maraknya klaim obat untuk COVID-19

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 10 Agu 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2020, 12:00 WIB
Minum obat (iStock)
Ilustrasi obat (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut ada beberapa hal yang membuat maraknya klaim terhadap suatu obat yang dinyatakan mampu menyembuhkan COVID-19.

Hal ini disampaikan oleh Tulus Abadi, Ketua YLKI dalam sebuah temu media daring yang diadakan pada Senin (10/8/2020).

Tulus mengatakan beberapa penyebab utama maraknya klaim obat COVID-19 yang muncul akhir-akhir ini disebabkan oleh: buruknya politik manajemen penanganan wabah, aspek tekanan psikologi konsumen, lemahnya literasi konsumen terhadap produk obat, serta belum optimalnya penegakan hukum.

"Jadi tidak bisa dilihat secara mikro tetapi juga kita lihat secara makro, dari hulunya dan dari hilirnya. Jadi saya kira tidak bisa berdiri sendiri tapi sebuah indikator yang saling berkaitan," kata Tulus.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

Buruknya Penanganan Wabah dan Komentar Pejabat

BPOM Tarik Peredaran Viostin DS dan Enzyplex
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi (kanan) memberi keterangan terkait pelanggaran produk Viostin DS dan Enzyplex mengandung DNA Babi, Jakarta, Senin (5/2). BPOM RI memberi sanksi peringatan kepada PT. Pharos Indonesia. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Terkait buruknya politik manajemen penanganan wabah, Tulus menilai bahwa Pemerintah kedodoran karena terlalu terfokus untuk memilih antara aspek kesehatan dan ekonomi.

"Hasilnya kita tahu semua, COVID-19 semakin luas dan pertumbuhan ekonomi nyungsep, yang dulu digadang-gadang aman, toh sekarang faktanya minus 5,13 persen dan kita juga di ambang resesi," ujarnya.

Selain itu, Tulus menilai beberapa pejabat publik di awal pandemi ikut memberikan respon yang buruk dalam menanggapi COVID-19. Hal ini seperti komentar soal nasi kucing anticorona, doa qunut, jamu Pancasila, hingga kalung eukaliptus.

"Ini artinya se-level pejabat publik juga memberikan contoh-contoh yang kurang baik, kurang produktif, membodohkan dan kurang mencerdaskan, sehingga kalau saat ini ada klaim-klaim bermunculan, itu sebenarnya efek dari itu semua."

Psikologi Konsumen dan Lemahnya Penegakan Hukum

Suntikan dan obat (iStock)
Ilustrasi obat (iStockphoto)

Sementara dari sisi psikologi konsumen, Tulus mengatakan ada tekanan psikologis di masyarakat akibat ketakutan terinfeksi COVID-19 dan belum ketersediaannya obat atau vaksin. Hal ini menyebabkan banyak orang mencari jalan keluarnya sendiri.

"Konsumen juga mengalami tekanan ekonomi yang sangat dalam," tambahnya.

Di sisi lain, masih banyak konsumen yang belum paham mengenai literasi terhadap produk obat, jamu, dan herbal. Sehingga, banyak masyarakat kurang paham mengenai klaim obat atau jamu.

Tulus juga mengatakan bahwa klaim berlebihan sesungguhnya sudah ada sejak sebelum adanya pandemi. Ditambah lagi dengan adanya fenomena endorsement tokoh publik untuk produk tertentu yang belum terbukti mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Namun menurut Tulus, fenomena-fenomena ini belum disertai penegakan hukum yang optimal.

"Kasus-kasus yang masuk ranah hukum selama ini divonis secara ringan. Pelanggaran-pelanggaran pidana terkait dengan obat dan sejenisnya yang kemudian terjadi sampai ke proses hukum, kami monitor, hasilnya tidak optimal karena vonisnya ringan sehingga tidak menjerakan pelakunya," kata Tulus.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya