Apa Beda Beser dan Ngompol? Pakar Jelaskan Perbedaannya

Pakar menjelaskan apa perbedaan beser dan ngompol yang sering disalahartikan

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 21 Agu 2021, 08:00 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2021, 08:00 WIB
Ilustrasi beser dan ngompol Foto oleh Markus Spiske dari Pexels
Ilustrasi beser dan ngompol Foto oleh Markus Spiske dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta Prof. Dr. dr. Siti Setiati, Sp.PD, KGer, M.Epid, dari Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM menjelaskan perbedaan antara beser dan ngompol.

Menurutnya, beser atau overactive l (OAB) merupakan sebuah gangguan fungsi berkemih yang mengakibatkan rasa ingin segera berkemih. Lebih lanjut, beser dapat menjadi salah satu jenis inkontinensia atau ketidakmampuan berkemih secara sukarela.

Sementara, ngompol atau enuresis atau inkontinensia adalah kondisi ketika seseorang tidak dapat menahan keluarnya air kencing atau keluarnya air kencing (urine) tanpa dikehendaki.

Terdapat 4 jenis inkontinensia yang sering dijumpai, lanjutnya. Pertama, Inkontinensia Tekanan yang merupakan jenis inkontinensia dengan prevalensi di Indonesia secara umum sebanyak 4 persen dan pada lansia sebesar 4.8 persen.

“Kedua, Inkontinensia Dorongan (beser, urgensi,OAB). Tipe ini paling banyak dijumpai pada populasi lansia (9.4 persen) dibandingkan umum (4.1 persen) dengan persentase laki-laki lansia tertinggi (11.2 persen),” katanya dalam seminar daring Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA), Kamis (19/8/2021).


Inkontinensia Campuran

Tipe Ketiga adalah Inkontinensia Campuran, dengan prevalensi di Indonesia pada populasi umum sebesar 1.5 persen dan pada lansia sebesar 4.0 persen.

Terakhir, Inkontinensia Luapan, tipe ini ditemui pada pria karena berkaitan dengan obstruksi saluran berkemih yang disebabkan oleh pembesaran prostat, ataupun batu.

Prevalensi Inkontinensia Luapan di Indonesia secara umum sebesar 0.4 persen dan pada lansia juga sebesar 0.4 persen.

Hasil penelitian PERKINA pada 2020 yang melibatkan 585 responden yang terdiri dari 267 pria dan 318 perempuan, menunjukkan bahwa 11,6 persen atau sekitar 68 dari responden mengalami gangguan berkemih.

Artinya, sekitar 1 dari 10 orang memiliki gangguan tersebut. Hal ini cukup berpengaruh, baik dari segi kualitas hidup seseorang, hingga beban pengobatan di masyarakat.


Penyebab dan Tatalaksana

Siti juga menerangkan bahwa terdapat beberapa penyebab inkontinensia yang dapat diperbaiki tanpa obat-obatan.

Maka dari itu, ia menyarankan penderita inkontinensia melakukan konsultasi terlebih dahulu sebelum meminum obat-obatan.

“Tenaga medis pasti akan melakukan pengkajian yang lebih menyeluruh terlebih dahulu sebelum memberikan obat.”

Beberapa penyebab inkontinensia yang dapat kembali disembuhkan antara lain: delirium, infeksi, atrophic vaginitis, pharmaceuticals, masalah psikologis, endocrine disorder, excess urine output, terhambatnya mobilitas, dan stool impaction (skibala).

Tatalaksana dapat dilakukan secara non-farmakologi dan farmakologis. Tatalaksana non farmakologis dilakukan dengan pembatasan asupan minum, tidak minum kurang dari 2 jam sebelum tidur (nocturia), mengurangi konsumsi kafein, alkohol, minuman bersoda, minuman manis, berhenti merokok, penurunan berat badan, bladder retraining, dan latihan otot dasar panggul.

Sementara itu, tatalaksana farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan anti-muskarinik/anti-kolinergik, penghambat reseptor 𝝰-1, Agonis 𝛽 dan pembedahan apabila perlu, pungkasnya.

 

 


Infografis Waspadai 3 Gejala Khusus COVID-19 pada Lansia

Infografis Waspadai 3 Gejala Khusus Covid-19 pada Lansia. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Waspadai 3 Gejala Khusus Covid-19 pada Lansia. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya