Liputan6.com, Jakarta Sejak awal tahun 2020, seluruh dunia dihadapkan dengan situasi pandemi COVID-19 yang hingga saat inipun tak kunjung usai. Hal tersebut ternyata menjadi pemicu munculnya dan meningkatnya stres berkepanjangan.
Spesialis kedokteran jiwa RS EMC Alam Sutera dr. Andri, FAPM mengungkapkan bahwa saat adanya lonjakan kasus pada Juli 2021, banyak rumah sakit penuh untuk pasien COVID-19 dan kematian yang terjadi. Kondisi itulah yang memicu kecemasan yang dirasakan banyak orang.
Baca Juga
"Bahkan pengumuman kematian yang sering dari corong masjid di saat Juli 2021 itupun membuat rasa takut yang tidak terkira buat orang yang memiliki bakat untuk mengalami gangguan cemas," ujar Andri dalam keterangan pada rekan wartawan ditulis Selasa, (30/11/2021).
Advertisement
Andri menjelaskan, banyak pasiennya mengatakan bahwa berita buruk yang tidak kunjung henti terkait pandemi COVID-19 cukup mempengaruhi mereka. Apalagi belakangan muncul berita baru terkait Varian Omicron.
"Itulah mengapa saya menyarankan mereka untuk memotong jalur informasi yang berlebihan yang mereka punya, sehingga paparan berita buruk itu bisa dikurangi atau bahkan dihentikan," kata Andri.
Sejak pandemi berlangsung, Andri mengaku telah menghadapi pasien dengan gangguan cemas setiap harinya. Hampir 80 persen pasien yang ditanganinya setiap hari adalah pasien dengan gangguan cemas yang bergejala psikosomatik.
"Mereka datang biasanya dengan keluhan lambung, nyeri otot, jantung berdebar-debar atau pernah mengalami beberapa kali serangan panik. Sejak pandemi tahun lalu dimulai kasus yang datang berobat ke saya banyak yang dipicu oleh kondisi pandemi," ujar Andri.
Orang yang mengalami serangan panik akan merasakan jantungnya berdebar-debar, rasa seperti tercekik atau sensasi kehabisan oksigen, kesemutan, dan banyak gejala fisik lainnya.
Bahkan, pada orang yang mengalami cemas mereka bisa merasakan sensasi takut mati, gila, atau kehilangan kontrol.
Dampak pada sistem imun
Hal tersebut tidak semata-mata dilakukan untuk mengurangi kecemasan. Mengingat kompleksitas yang terjadi pada tubuh manusia yang disebabkan oleh banyak faktor juga dapat mempengaruhi sistem imun tubuh.
Menurut Andri, jika terjadi stres yang tiba-tiba maka sistem imun akan meningkat. Itu bisa dilihat secara alami saat kita jatuh atau terkena benturan saat kita mengalami stres fisik.
"Sistem imun tubuh akan memobilisasi sel darah putih dan juga meningkatkan perdarahan di sekitar tempat jatuh atau benturan itu. Itulah mengapa kita merasakan adanya rasa panas di awal dan kemerahan kulitnya," kata Andri.
Namun berbeda jika stres yang dialami berlangsung kronis. Apalagi jika berkaitan dengan stres mental. Seseorang pun dapat mengalami penurunan imunitas akibat berbagai macam faktor. Salah satunya dengan peningkatan kortisol atau hormon stres yang terus menerus.
"Peningkatan itu menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi peradangan di tubuh kita. Stres yang lama dan berkepanjangan selain bisa menimbulkan masalah kejiwaan juga mempengaruhi kesehatan fisik," tambahnya.
Andri mengungkapkan bahwa stres merupakan salah satu faktor penting yang memicu peradangan dan disfungsi sel kekebalan. Stres dapat menyebabkan terjadi peningkatan kadar IL-6 dan sel kekebalan menjadi tidak berfungsi.
Advertisement