Liputan6.com, Jakarta Lonjakan kasus COVID-19 terjadi di Korea Selatan (Korsel) pada Kamis, 14 Maret 2022 misalnya bertambah 407 ribu kasus infeksi di sana. Lalu, China yang sebelumnya sudah bisa mengendalikan sebaran virus Corona kembali kelabakan sampai-sampai beberapa wilayah lockdown.
Melihat kasus COVID-19 di Korea Selatan, China, Hong Kong serta negara Eropa, epidemiolog Dicky Budiman berpesan agar situasi global ini harus dijadikan pelajaran bagi RI dalam membuat dasar mitigasi.
Baca Juga
"Bukan tidak mungkin kita mengalami hal serupa seperti di negara-negara tersebut. Bisa saja terjadi gelombang lagi tapi kita bisa dan harus bisa memitigasi. Caranya? Dengan 3T tidak boleh dikendorkan secara drastis, deteksi dini dengan terukur, terutama deteksi dini pada kelompok rawan," kata Dicky.
Advertisement
Dicky mengatakan agar pelonggaran yang dilakukan di RIÂ harus terukur, bertahap dan tidak bisa digeneralisasi. Jadi, disesuaikan dengan kesiapan maupun kondisi wilayah baik dari indikator epidemiologis, perilaku dan infrastruktur.
Bisa juga dilihat dari perilaku warga terhadap protokol kesehatan serta meniliki dari capaian vaksinasi COVID-19 dalam membuat aturan pelonggaran mobilitas.
Lalu, pemerintah mulai meningkatkan edukasi ke rumah-rumah di masa transisi ini. Supaya masyarakat bisa paham cara aman beraktivitas meski ada pelonggaran.
"Kita seiring waktu kan harus melakukan pelonggaran namun dengan tanpa mengabaikan upaya pencegahan dengan 5M tadi. Itu senjata utama kita ke depan selain vaksinasi," sebut Dicky.
Dengan modal itu kita bisa bertahap melakukan pemulihan. Namun, tidak bisa melakukan pelonggaran yang terburu-buru. Kita masih dalam situasi yang rawan.
"Jangan sampai tergesa-gesa melakukan semua pelonggaran. Hal itu bisa membuat situasi kembali buruk walaupun potensi seperti Delta semakin kecil ya seiring jumlah orang yang punya imunitas yang banyak," kata peneliti Global Health Security dan Pandemi pada Center for Environment and Population Health di Griffith University Australia ini.
Â
Â
Kenaikan Kasus di Korsel dan China Bukti Pandemi Belum Berakhir
Kenaikan Kasus di Korsel dan China Dicky juga mengatakan lonjakan kasus di negara-negara tersebut merupakan bukti nyata bahwa COVID-19 sebagai penyakit pandemi belum berakhir.
"Mau sebagian negara berkehendak menetapkan COVID-19 sebagai endemi, secara nyata dan fakta, COVID-19 ini belum berakhir sebagai penyakit pandemi," kata Dicky.
Penyakit pandemi artinya COVID-19 masih mengancam seluruh wilayah dunia tanpa terkecuali karena belum bisa di rem lajunya oleh karena imunitas dari sebagian penduduk dunia telah ada.
Fakta bahwa setengah populasi dunia sudah memiliki imunitas COVID-19 baik dari infeksi maupun vaksinasi, nyatanya belum mampu meredam COVID-19. Masih muncul varian baru seperti Omicron serta subvarian BA.2 yang menyebabkan tinggi kasus di beberapa negara di atas serta Eropa.
"BA.2 bisa menjadi perburukan faktor pandemi di suatu negara Eropa. Di China bisa sebabkan beberapa wilayah harus lockdown, lalu di Korea Selatan dalam sejarah pandemi tes positivity raet mendekati 90 persen," kata Dicky.
Â
Advertisement