China Laporkan 35 Kasus Virus Langya, Lebih Bahaya dari COVID-19?

Penyebaran virus Corona penyebab COVID-19 yang belum usai kini ditimpa dengan penemuan virus baru di China yang disebut Langya henipavirus (LayV).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Agu 2022, 13:00 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2022, 13:00 WIB
Kaum Muda China Menghadapi Pasar Kerja yang Suram karena COVID
Komuter berjalan melalui stasiun kereta bawah tanah selama jam sibuk pagi hari di kawasan pusat bisnis di Beijing, Selasa, 9 Agustus 2022. 11 juta lulusan universitas China sedang berjuang di pasar kerja yang suram musim panas ini karena penutupan berulang di bawah lockdown COVID memaksa perusahaan untuk mengurangi dan mendorong banyak restoran dan pengusaha kecil lainnya keluar dari bisnis. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta Penyebaran virus Corona penyebab COVID-19 yang belum usai, kini ada temuan virus baru di China yang disebut virus Langya (LayV). Ada 35 orang di sana yang terinfkesi virus Langya.

Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Taiwan melaporkan bahwa mereka sedang memantau perkembangan baru seputar penyakit baru yang dikenal sebagai Langya henipavirus (LayV).

Sebenarnya, virus ini pertama kali terdeteksi pada akhir 2018 di Shandong dan Henan yang merupakan daerah perbatasan dan terletak di timur laut China. Namun, baru diidentifikasi secara resmi oleh para ilmuwan minggu lalu.

Mengutip Newsweek, CDC Taiwan berjanji akan mulai mengembangkan prosedur untuk melacak virus Langya dan mengurutkan genomnya. Harapannya, hasil pelacakan akan siap dalam waktu seminggu ke depan.

Tak satu pun dari 35 pasien yang diketahui memiliki kontak dekat satu sama lain atau ditemukan memiliki titik pajanan yang sama. Ini menunjukkan bahwa penyebaran virus Langya telah sporadis pada manusia pada saat ini. Virus ini juga diketahui ditemukan pada hewan tertentu, seperti tikus.

Sejauh ini belum diketahui apakah penyebaran virus Langya kali ini disebabkan oleh transfer dari hewan, tetapi pihak berwenang China tetap meminta semua pihak agar berhati-hati.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Informasi Masih Minim

Kaum Muda China Menghadapi Pasar Kerja yang Suram karena COVID
Komuter berjalan melalui stasiun kereta bawah tanah selama jam sibuk pagi hari di kawasan pusat bisnis di Beijing, Selasa, 9 Agustus 2022. 11 juta lulusan universitas China sedang berjuang di pasar kerja yang suram musim panas ini karena penutupan berulang di bawah lockdown COVID memaksa perusahaan untuk mengurangi dan mendorong banyak restoran dan pengusaha kecil lainnya keluar dari bisnis. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Informasi masih sangat minim sehingga juga tidak jelas apakah virus dapat ditularkan dari orang ke orang, meskipun laporan sebelumnya menunjukkan bahwa memang demikian.

Wakil Direktur Jenderal CDC Taiwan Chuang Jen-Hsiang menjelaskan bahwa dalam kasus pasien yang terinfeksi virus Langya yang didokumentasikan ada beberapa gejala khas.

Gejala khas itu termasuk demam, kelelahan, batuk, kehilangan nafsu makan, nyeri otot, mual, sakit kepala dan muntah.

Dalam kasus yang lebih parah, pasien telah menunjukkan penurunan sel darah putih, jumlah trombosit yang rendah, gagal hati dan gagal ginjal. Namun, tidak ada kematian yang dilaporkan sejauh ini.

Keluarga henipavirus, yang termasuk jenis baru ini, digolongkan sebagai virus tingkat keamanan hayati 4 menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Virus ini dapat memiliki tingkat kematian mulai dari 40 hingga 75 persen.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tingkat Kematian Tinggi?

Tikus di China
Mencuri beras, tikus ini diikat dan dipermalukan (Weibo/jiu lian shan she zhang)

Seperti yang dicatat oleh Global Times, ini jauh di atas tingkat kematian yang umum untuk virus Corona, keluarga virus yang menjadi penyebab COVID-19.

Saat ini tidak ada vaksin untuk henipavirus. Satu-satunya pengobatan yang dapat diberikan oleh dokter dan profesional medis adalah perawatan suportif untuk berbagai gejala.

Kasus pertama Langya virus terlihat sebelum Januari 2019 dan hanya terjadi secara sporadis sejak itu.

Para peneliti yang dipimpin oleh Institut Mikrobiologi dan Epidemiologi Beijing menerbitkan temuan mereka tentang LayV, dalam sebuah penelitian di New England Journal of Medicine.

Mereka melihat kasus pertama sebelum Januari 2019 di Shandong, sebelum 14 kasus ditemukan selama tahun berikutnya di kedua provinsi.

Tidak ada infeksi yang ditemukan selama tahun pertama pandemi COVID-19 pada Januari hingga Juli 2020. Para peneliti menghentikan pekerjaan mereka soal Langya untuk sementara guna mencegah penyebaran COVID.

Peneliti China menemukan virus pada 71 dari 262 tikus yang disurvei di dua provinsi China tempat wabah dimulai.

Selain tikus, virus itu juga ditemukan pada anjing (5 persen) dan kambing (2 persen).

Satu Keluarga dengan Nipah

Shanghai dan Beijing Lakukan Putaran Baru Tes Covid-19 Massal
Seorang pekerja pemeliharaan yang mengenakan masker menarik gerobak di sepanjang jalan di Beijing, Rabu (6/7/2022). Lockdown dan pengujian massal berulang kali terjadi di China. Ini merupakan bagian dari kebijakan nol-Covid yang bertujuan untuk memberantas semua wabah. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Peneliti menyampaikan tidak ada kontak dekat atau riwayat paparan umum di antara pasien, yang menunjukkan bahwa infeksi pada populasi manusia mungkin sporadis.

Pelacakan kontak dari sembilan pasien dengan 15 anggota keluarga kontak dekat mengungkapkan tidak ada transmisi LayV kontak dekat.

“Tapi ukuran sampel kami terlalu kecil untuk menentukan status penularan dari manusia ke manusia untuk LayV,” mengutip Daily Mail.

Langya sendiri adalah henipavirus — keluarga yang sama dengan virus Nipah, yang merupakan patogen mematikan yang biasanya ditemukan pada kelelawar.

Seperti COVID, Nipah dapat menyebar melalui droplet pernapasan. Tapi itu jauh lebih mematikan, membunuh hingga tiga perempat orang yang terinfeksi.

Ini telah terdaftar sebagai salah satu virus yang paling mungkin menyebabkan pandemi berikutnya oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Virus yang juga memicu pembengkakan otak pertama kali ditemukan di Malaysia dan Singapura pada tahun 1999, ketika 300 kasus menyebabkan 100 kematian.

Saat ini tidak ada vaksin Nipah yang disetujui untuk manusia - tetapi setidaknya saat ini sedang diuji pada hewan, termasuk yang dibuat oleh Universitas Oxford.

Infografis Ciri-ciri Ibu rumah tangga Punya Masalah Kesehatan Mental
Infografis Ciri-ciri Ibu rumah tangga Punya Masalah Kesehatan Mental.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya