Liputan6.com, Jakarta Masalah ekonomi dalam keluarga memang tak jarang membuat beberapa orangtua merasa terhimpit. Alhasil, anak dilibatkan bahkan dipaksa untuk mencari uang demi membantu memperbaiki kondisi sulit itu.
Masa kanak-kanak hingga remaja sendiri sebenarnya bukanlah masa yang tepat untuk mereka dilibatkan mencari nafkah. Hal tersebut lantaran masa itu merupakan masa-masa mereka untuk melakukan eksplorasi.
Baca Juga
Psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani pun setuju bahwa mencari nafkah sebenarnya memang bukan tanggung jawab utama anak di masa remaja.
Advertisement
"Masa anak-anak dan remaja merupakan masa untuk melakukan eksplorasi. Eksplorasi pada anak-anak akan terlihat dalam bentuk perilaku bermain. Sedangkan eksplorasi pada remaja akan muncul dalam bentuk melakukan kegiatan dan hobi yang mereka senangi," ujar Efnie pada Health Liputan6.com ditulis Sabtu, (14/1/2023).
"Jadi memang tanggung jawab utama di masa kanak-kanak dan remaja bukanlah mencari nafkah," sambungnya.
Namun, Efnie mengakui jikalau terkadang situasi yang terjadi dalam keluarga membuat anak dan remaja harus ikut mencari uang untuk memenuhi kebutuhan.
"Hal ini (mencari uang) masih bisa dilakukan. Tapi sebaiknya pekerjaan tersebut tidak dijadikan sebagai beban pada anak dan remaja. Mereka sebaiknya masih memiliki waktu untuk melakukan eksplorasi secara natural," kata Efnie.
Terlebih lagi, melibatkan anak dalam permasalahan ekonomi bukan berarti tak akan menimbulkan dampak buruk. Dua remaja di Makassar, Sulawesi Selatan yang membunuh bocah 11 tahun menjadi salah satu contohnya.
Membunuh karena Ingin Bantu Ekonomi Keluarga
Usai dimintai keterangan, pembunuhan yang baru-baru ini dilakukan dua remaja di Kota Makassar, Sulawesi Selatan ternyata berkedok masalah ekonomi. Pelaku AD (17) dan MF (14) mengaku tergiur menjual organ tubuh korbannya untuk mendapatkan uang.
Uang itu rencananya hendak digunakan untuk membantu ekonomi keluarga, lebih tepatnya untuk membangun rumah. Menurut penjelasan AD sebagai pelaku utama, orangtuanya memarahi AD setiap hari karena masalah ekonomi keluarga mereka.
Alhasil, muncul obsesi untuk mencari uang lewat menjual organ tubuh manusia.
Efnie mengungkapkan bahwa memang ada dua kemungkinan penyebab di balik tindakan AD dan MF untuk membunuh korbannya yang berusia 11 tahun. Dua hal itu adalah hasil pengamatan yang berubah jadi obsesi dan desakan hidup.
"Remaja bisa melakukan sesuatu yang sifatnya ekstrem biasanya merupakan hasil kombinasi antara hal-hal yang dia amati kemudian menjadi inspirasi, dan faktor situasi desakan hidup," ujar Efnie.
Advertisement
Pengamatan yang Semakin Mudah di Internet
Terlebih di era digital saat ini, sumber pengamatan bisa dilakukan dari mana saja dan diakses kapan saja. Cara tersebutlah yang bisa menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat untuk pelaku.
"Sumber pengamatan bisa dari mana saja dan memang bisa diakses kapan saja. Hal ini tentunya menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat," kata Efnie.
"Jika sudah menjadikan sesuatu sebagai inspirasi, maka remaja akan melakukan hal tersebut secara langsung tanpa disertai pertimbangan yang matang," tambahnya.
Efnie mengungkapkan bahwa hal-hal yang sudah menjadi inspirasi tersebutlah yang kemudian bisa berkembang menjadi obsesi dalam pikiran.
"Ditambah lagi ada desakan kebutuhan hidup, maka akan semakin memperkuat obsesi pikiran untuk diwujudkan dalam perilaku nyata," ujar Efnie.
Hal yang Tak Bisa Dihindari, Sanksi Sosial dari Masyarakat
Kini, AD dan MF harus menanggung dampak dari perbuatannya. Selain harus berurusan dengan hukum, keduanya turut mendapatkan sanksi sosial. Diketahui, rumah AD dan MF dihancurkan oleh warga usai pemakaman MFS selesai dilakukan.
Menurut Efnie, hal tersebut adalah salah satu konsekuensi yang harus diterima.
"Sanksi sosial memang tidak bisa dihindari, karena itu adalah konsekuensi atas tindakan buruk yang telah dilakukan," pungkasnya.
Advertisement