Liputan6.com, Jakarta - Kebiasaan makan bersama di sekolah adalah hal yang baik. Namun, tak sekadar menambah nutrisi, momen makan bersama juga bisa menjadi kesempatan menyebar edukasi.
Hal ini disampaikan Direktur Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) Prof. Nila Moeloek. Menurutnya, memberi makanan bergizi adalah hal baik, karena makanan itu akan memberikan energi kepada anak-anak supaya daya tangkapnya lebih baik.
Advertisement
Baca Juga
“Apakah sekadar makan? Memberi makan juga memberi kesempatan waktu untuk kita melakukan edukasi. Jadi gurunya kami harapkan sambil menceritakan kenapa makan telur, telur itu dari mana. Misalnya dapat nasi kuning, ceritakan nasi kuning itu apa, aneka ragam makanan nusantara kita bisa diceritakan,” kata Nila kepada Health Liputan6.com dalam temu media tentang hasil penelitian Zona Mendengar Jiwa di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Advertisement
Selain soal nutrisi, kandungan gizi, dan jenis-jenis masakan nusantara, para guru juga dapat mengedukasi murid untuk menanamkan kebiasaan menghabiskan makanan.
“Jadi anak-anak harus disiplin, kita enggak boleh buang sampah (makanan) lagi.”
Nila juga menanggapi soal kondisi kantin. Menurutnya, kantin perlu dibuat menjadi tempat yang menyenangkan. Kantin bahkan dapat menjadi tempat murid untuk konsultasi kesehatan mental.
“Artinya, jangan guru BK (bimbingan konseling) itu ada di ruangan tertutup (ruang BK). Karena ketika anak masuk temannya akan bilang dia ada masalah, dianggap bandel, nyolong, dan segala macam,” kata Nila.
Kantin Jadi Salah Satu Tempat yang Paling Digemari Siswa untuk Curhat
Studi Zona Mendengar Jiwa dari Health Collaborative Center (HCC), Fokus Kesehatan Indonesia (FKI), dan Yayasan BUMN menunjukkan, ada tiga tempat paling digemari siswa untuk curhat. Yakni ruang kelas, kantin, dan kamar mandi.
Studi menunjukkan, sebanyak 7 dari 10 pelajar SMA di Jakarta enggan mengunjungi ruang Bimbingan Konseling (BK) di sekolah untuk bercerita tentang masalah kesehatan mental yang dihadapi.
Ketika berinteraksi di sekolah, para pelajar SMA yang menjadi responden pada penelitian ini cenderung lebih memilih teman untuk menjadi tempat konsultasi dan diskusi terkait masalah kesehatan mental mereka, bukan guru di sekolah.
“Bahkan hampir 7 dari 10 (67 persen) pelajar SMA terbukti tidak ingin mengunjungi ruang BK, terlebih untuk melakukan konseling, padahal guru sadar akan risiko gangguan emosional dan kesehatan jiwanya,” kata Peneliti Utama HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi dalam kesempatan yang sama.
Advertisement
Peran Teman Sebaya di Sekolah
Hal ini menunjukkan bahwa peran teman sebagai rekan konseling sebaya atau peer counselor bisa menjadi salah satu agen mitigasi. Teman sebaya dapat menjadi salah satu agen mitigasi kesehatan mental di sekolah.
Meski begitu, Nila menegaskan bahwa pendekatan ini harus dilakukan sangat hati-hati.
"Pelajar usia remaja tetap merupakan individu yang masih perlu bimbingan, sehingga konsultasi antar sesama tetap harus disiasati ruang lingkup sebagai saluran bercerita saja dan bukan untuk dilakukan sebagai upaya mitigasi konseling,” ucap Nila.
Konseling Teman Sebaya Tetap Perlu Bimbingan
Menteri Kesehatan 2014-2019 itu pun menjelaskan alasan mengapa konseling teman sebaya tetap perlu bimbingan.
“Karena nantinya akan ada kemungkinan potensi saran yang tidak akurat sebab mereka tetap harus dibimbing, dan ini juga merupakan tugas orangtua, keluarga, serta guru di sekolah,” jelas Nila.
Hasil penelitian ini pun diturunkan menjadi sebuah rekomendasi yang diberikan kepada institusi pendidikan yang bernama Zona Mendengar Jiwa.
“Harapannya dapat diterapkan oleh pihak sekolah terutama pelaksanaan skrining kesehatan mental, identifikasi masalah dan konseling berbasis sekolah, dan konseling sebaya serta integrasi layanan kesehatan dengan sekolah,” ujar Program Manager Health and Wellbeing Yayasan BUMN, Heru Komarudin.
Advertisement