Liputan6.com, Jakarta - Puasa Ramadhan adalah cara umat Islam dalam melawan musuh terbesar manusia, yakni hawa nafsu.
Hal ini disampaikan Wakil Sekretaris Lembaga Perguruan Tinggi NU PWNU Jawa Timur & Dosen UIN KHAS Jember, Muhammad Fauzinuddin Faiz.
Advertisement
Baca Juga
Menurutnya, dalam khazanah Islam, perang melawan hawa nafsu (jihad an-nafs) bukanlah perkara sepele. Bahkan, Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai "jihad akbar" atau perang terbesar. Ini adalah sebuah pernyataan yang mengejutkan mengingat pada masa itu, peperangan fisik dengan pedang dan tombak adalah hal yang lumrah.
Advertisement
Lalu, mengapa perang tanpa darah melawan diri sendiri justru dianggap lebih berat?
Menariknya, pandangan serupa juga ditemukan dalam tradisi pemikiran di luar Islam. Sun Tzu, sang jenderal legendaris Tiongkok kuno dalam kitab "Art of War" menyatakan: "Mengetahui musuh dan mengetahui dirimu, dalam seratus pertempuran kau tidak akan pernah berada dalam bahaya. Ketika kau tidak mengetahui musuh tetapi mengetahui dirimu, peluangmu untuk menang atau kalah sama besarnya. Jika kau tidak mengetahui baik musuh maupun dirimu, kau akan selalu berada dalam bahaya."
Pernyataan ini menegaskan bahwa pertempuran terberat adalah melawan ketidaktahuan akan diri sendiri—sebuah bentuk perang batin yang jauh lebih kompleks dibanding mengalahkan musuh eksternal.
Imam Al-Ghazali, dalam kitab monumentalnya "Ihya Ulumuddin" memberikan jawaban yang menohok.
"Musuh yang paling berbahaya adalah yang berada dalam jubahmu sendiri, yaitu nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu."
“Pernyataan ini bukan sekadar metafora, tetapi realitas yang dihadapi setiap manusia. Nafsu adalah musuh yang tak pernah tidur, tak pernah absen, dan ironisnya, justru menjadi bagian dari diri kita sendiri,” kata Fauzinuddin mengutip laman Kementerian Agama, Senin (3/3/2025).
Puasa adalah Perisai Terkuat dalam Melawan Hawa Nafsu
Di sinilah puasa hadir sebagai perisai terkuat dalam perang melawan hawa nafsu. Sebuah ibadah yang kelihatannya sederhana—menahan makan, minum, dan syahwat selama beberapa jam—ternyata menyimpan kekuatan luar biasa dalam membentuk pertahanan spiritual.
“Manusia adalah makhluk paradoksal. Di satu sisi, ia memiliki ruh yang mendambakan kesucian dan ketinggian spiritual. Di sisi lain, ia juga memiliki jasad dengan segala keinginan duniawinya.” Pertarungan abadi antara dua dimensi inilah yang menjadikan perang melawan hawa nafsu begitu kompleks dan melelahkan.
Ibnu Miskawayh, seorang filsuf Muslim terkemuka, melihat manusia sebagai entitas yang terjebak dalam pertarungan eksistensial antara "diri yang lebih rendah" (nafs al-ammarah) dan "diri yang lebih tinggi" (nafs al-mutma'innah).
Puasa, dalam perspektif ini, bukanlah sekadar ritual keagamaan, tetapi sebuah mekanisme untuk menegaskan dominasi ruh atas jasad, akal atas nafsu.
Advertisement
Melatih Diri agar Tak Jadi Budak Nafsu
Ketika seseorang berpuasa, ia secara sadar menundukkan keinginan primernya—makan dan minum—demi ketaatan pada perintah Allah. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap ego yang paling dasar. Tanpa disadari, latihan sederhana ini melatih seseorang untuk tidak menjadi budak nafsunya sendiri.
Dalam konteks modern, di mana konsumerisme dan hedonisme menjadi gaya hidup dominan, puasa menjadi semakin relevan.
“Masyarakat kita telah terbiasa dengan kepuasan instan dan pemenuhan keinginan tanpa penundaan. Segala sesuatu dirancang untuk memanjakan nafsu—dari makanan cepat saji hingga hiburan yang tersedia 24 jam.”
“Dalam lingkungan seperti ini, puasa hadir sebagai bentuk perlawanan budaya, sebuah pernyataan bahwa manusia bisa dan harus mengendalikan nafsunya, bukan sebaliknya,” jelas Fauzinuddin.
Lebih Sadar tentang Apa Saja yang Perlu Dikonsumsi
Paradoks identitas manusia juga tercermin dalam bagaimana puasa memaksa kita menghadapi kenyataan bahwa kita adalah subjek sekaligus objek dalam perang ini.
Jalaluddin Rumi, penyair sufi terkenal, menggambarkannya dengan indah: "Musuhmu bukanlah orang di luar sana yang bisa kau hindari atau kalahkan. Musuhmu adalah dirimu sendiri yang mengenakan topeng keinginan dan nafsu."
Puasa membuka topeng ini, memperlihatkan wajah asli musuh kita, dan memberikan kita kesempatan untuk menghadapinya secara langsung.
Lebih jauh lagi, puasa mengajarkan tentang relativitas kebutuhan. Apa yang dianggap sebagai "kebutuhan" seringkali hanyalah "keinginan" yang tersamarkan. Ketika berpuasa, kita menyadari bahwa kita bisa bertahan tanpa makan atau minum selama berjam-jam. Realisasi sederhana ini membuka pintu kesadaran bahwa banyak hal yang kita kejar dengan obsesif sebenarnya tidak esensial.
Dalam praktiknya, puasa juga mengajarkan tentang kesadaran penuh (mindfulness). Orang yang berpuasa menjadi lebih sadar akan apa yang ia konsumsi, kapan, dan mengapa. Setiap tindakan makan dan minum menjadi tindakan yang disengaja dan disadari, bukan sekadar kebiasaan otomatis. Kesadaran ini kemudian dapat ditransfer ke area kehidupan lain, membantu seseorang menjadi lebih waspada terhadap godaan nafsu dalam berbagai bentuknya.
Advertisement
