Liputan6.com, Jakarta Kelompok masyarakat sipil menyayangkan keputusan Badan Gizi Nasional (BGN) soal penggantian menu makan bergizi gratis alias MBG selama Ramadan.
Pasalnya, menu MBG kini mencakup pangan ultra proses yang tinggi gula, garam, dan lemak. Hal ini dapat memberikan efek domino yang justru kontraproduktif dengan tujuan beberapa program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Baca Juga
“Program MBG bertujuan meningkatkan status gizi penerima manfaat. Namun, masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak-remaja,” kata Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah S. Saminarsih, Selasa, 18 Maret 2025 dalam keterangan pers.
Advertisement
Pihak Diah menemukan sereal instan, biskuit kering, hingga susu kemasan berperisa dalam menu MBG di berbagai sekolah. Produk-produk pangan ultra-proses tersebut dikombinasikan dengan telur rebus, roti, kurma, kue kering fortifikasi, hingga buah.
Berangkat dari temuan itu, kelompok masyarakat sipil dan akademisi yang peduli pada kesehatan masyarakat dan tata kelola kebijakan memberikan catatan kritis terkait efek domino masuknya pangan ultra proses ke dalam program MBG. Catatan kritis disampaikan kepada Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana melalui surat terbuka yang dikirimkan pada Selasa, 18 Maret 2025.
Mengandung Gula yang Amat Tinggi
Diah mengatakan, analisis terhadap menu MBG selama bulan puasa ini menunjukkan bahwa komponen pangan ultra-proses yang disajikan memiliki kandungan gula yang tinggi. Misalnya, hanya dari kombinasi dua menu kemasan MBG, yaitu biskuit kering dan sereal instan, bisa menyumbang hingga 18 gram gula.
“Angkanya mencapai 72 persen kebutuhan konsumsi gula harian anak usia 2-18 tahun (25 gram) menurut standar WHO,” ujar Diah.
Terlebih, berbagai tinjauan sistematis menunjukkan paparan dini terhadap pangan ultra-proses berhubungan erat dengan peningkatan pola makan tidak sehat dan risiko lebih tinggi terhadap berbagai penyakit. Termasuk obesitas dan penyakit katastropik, seperti penyakit jantung (MM Lane, 2024; Vitale, 2023) yang ingin dituntaskan Presiden Prabowo melalui program-program quick win dalam Asta Cita.
Advertisement
Tak Sejalan dengan Program Kesehatan Pemerintah
Dalam keterangan yang sama, profesor madya kesehatan masyarakat, Dr. Grace Wangge, PhD, melihat masuknya makanan ultra-proses ini kurang sejalan dengan program pemerintah. Yang disebut-sebut ingin mencegah dan menekan risiko beberapa penyakit kronis, seperti jantung atau diabetes, lewat skrining kesehatan.
"Tapi anak-anak justru diajarkan makan yang berpotensi meningkatkan angka penyakit tersebut di masa mendatang,” kata Grace Wangge.
Diah menambahkan, masuknya produk ultra-proses dalam menu MBG bertentangan dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
“Pasal 200 PP Kesehatan memberikan tanggung jawab kepada pemerintah pusat untuk menyusun strategi pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak, termasuk mengatur ambang batas kandungannya serta mengendalikan iklan, promosi dan sponsor dari produk-produk tersebut,” kata Diah.
Selain PP Kesehatan, pemerintah juga berupaya melakukan pengendalian konsumsi gula, garam, lemak melalui penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang rencananya diterapkan pada semester II tahun ini.
Kontraproduktif dengan Upaya Intervensi Gizi yang Sudah Ada
Sementara itu, Founder Nusantara Food Biodiversity, Ahmad Arif, menyatakan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 juga sudah diamanatkan untuk mempercepat diversifikasi pangan. Yakni dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan.
“Masuknya produk pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, lemak dalam MBG justru bertentangan dengan upaya pemerintah mencapai tujuan seperti diatur dalam kebijakan tersebut,” kata Ahmad Arif.
Senada dengan Arif, dokter dan ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen mengatakan, masuknya produk ultra-proses dalam MBG kontraproduktif dengan upaya intervensi gizi yang sudah dilakukan dalam satu dekade terakhir. Pemerintah telah membangun kapasitas teknokratik hingga di level daerah melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Lokal dan Pedoman Gizi Seimbang.
Beberapa daerah, misalnya Kabupaten Pangandaran di Jawa Barat, telah berinovasi dengan mengeluarkan Peraturan Bupati tentang PMT Lokal berbasis ikan segar yang diimplementasikan langsung di level posyandu.
“Tidak hanya kontraproduktif dengan upaya intervensi gizi, masuknya pangan ultra-proses juga berisiko mendisrupsi pemahaman institusi yang sudah terbangun terkait intervensi gizi. Bahkan, komitmen politik pemerintah daerah dalam melahirkan inovasi intervensi berbasis pangan lokal melalui posyandu juga dapat merosot dengan dipilihnya pangan ultra-proses sebagai menu MBG,” ujar Tan Shot Yen.
Menimbang efek domino tersebut, kelompok masyarakat sipil dan akademisi mendesak BGN untuk segera memperbaiki standar menu MBG dengan memprioritaskan pangan segar lokal. Serta mengeluarkan regulasi yang mengatur pembatasan produk ultra-proses dan tinggi gula, garam, lemak dalam program MBG.
Badan Gizi Nasional juga perlu menunjukkan keseriusan dan bukti komitmen untuk memperbaiki tata kelola, regulasi, implementasi, serta monitoring evaluasi MBG agar sesuai dengan tujuan program untuk memperbaiki status gizi penerima manfaatnya.
Advertisement
