Amnesty International (AI) dan CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) menyampaikan surat terbuka kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar mengenai implementasi kewajiban HAM Indonesia berdasarkan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Hal itu disampaikan Deputi Direktur Asia-Pasifik Koordinator CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), Isabelle Arradon Estu Fanani seperti dikutip dari Antara, Sabtu (7/9/2013).
Surat terbuka Amnesty Internasional yang bermarkas di London juga ditembuskan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin dan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi serta Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen RI, Usmawarnie Peter.
Dalam surat terbuka Amnerty Internasional menyebutkan Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW), kelompok ahli yang bertugas meninjau implementasi CEDAW, mengeluarkan kesimpulan pengamatannya setelah meninjau perkembangan Indonesia dalam melindungi dan mempromosikan hak perempuan.
Komite mengekspresikan keperihatinannya atas serangkaian peristiwa di mana Indonesia dinilai gagal dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi CEDAW, serta membuat serangkaian rekomendasi untuk memperbaiki penghormatan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak perempuan.
Setelah satu tahun kemudian, Komite menyebutkan, banyak dari rekomendasi yang bertujuan memberantas diskriminasi dan kekerasan berbasis jender yang masih belum diimplementasikan, dan juga, kurangnya pemahaman mengenai rekomendasi diantara institusi pemerintahan.
Kegagalan mengambil langkah nyata mengatasi diskriminasi dan kekerasan berbasis jender yang direkomendasikan Komite, membuat anak-ana dan kaum perempuan terpapar resiko pelanggaran HAM yang terus menerus, sehingga komitmen pemerintah melindungi dan mempromosikan hak-hak mereka patut dipertanyakan.
Di antara hal-hal yang dikhawatiran Komite, salah satunya adalah kehadiran hukum dan peraturan yang diskriminatif di tingkat nasional dan lokal.
Komite mengekspresikan kekhawatiran mengenai aturan dalam Undang-Undang Perkawinan misalnya terkait poligami dan usia menikah, serta hadirnya peraturan lokal yang mendiskriminasi perempuan, termasuk di Provinsi Aceh.
Komite merekomendasikan untuk mencabut atau mengamandemen semua Undang-Undang dan peraturan semacam itu dalam jangka waktu yang jelas.
Lebih lanjut, Komite secara khusus meminta Indonesia mengirim laporan dalam kurun waktu dua tahun mengenai langkah yang sudah diambil untuk meninjau UU Perkawinan dan untuk mencabut tanpa penundaan peraturan yang diskriminatif di Aceh.
Komite CEDAW juga menyatakan keperihatinannya yang mendalam mengenai apa yang digambarkan sebagai ¿kemunduran serius¿ terkait praktik mutilasi kelamin perempuan (MKP) dan merekomendasikan pihak berwenang Indonesia mengadopsi peraturan yang mengkriminalkan praktik tersebut.
Selain itu Komite CEDAW menyuarakan kekhawatiran yang mendalam dengan masih berlangsungnya kekerasan, penganiayaan dan eksploitasi yang dialami pekerja migran perempuan secara terus menerus di negara penerima dan di tangan agen penyalur jasa tenaga kerja yang memfasilitasi.
Komite membuat serangkaian rekomendasi bertujuan memberikan perlindungan yang lebih baik pada hak-hak pekerja migran, namun dari penelitian Amnesty International mengindikasikan banyak pekerja rumah tangga Indonesia yang terus menjadi korban perdagangan manusia dan kerja paksa oleh penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
Pemerintah dinilai gagal dalam menjalankan kewajibannya untuk secara layak meregulasi dan ketika diperlukan, menghukum mereka yang merugikan pekerja rumah tangga tersebut, serta mengambil tindakan terhadap agen penyalur yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
(Abd)
Hal itu disampaikan Deputi Direktur Asia-Pasifik Koordinator CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), Isabelle Arradon Estu Fanani seperti dikutip dari Antara, Sabtu (7/9/2013).
Surat terbuka Amnesty Internasional yang bermarkas di London juga ditembuskan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin dan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi serta Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen RI, Usmawarnie Peter.
Dalam surat terbuka Amnerty Internasional menyebutkan Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW), kelompok ahli yang bertugas meninjau implementasi CEDAW, mengeluarkan kesimpulan pengamatannya setelah meninjau perkembangan Indonesia dalam melindungi dan mempromosikan hak perempuan.
Komite mengekspresikan keperihatinannya atas serangkaian peristiwa di mana Indonesia dinilai gagal dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi CEDAW, serta membuat serangkaian rekomendasi untuk memperbaiki penghormatan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak perempuan.
Setelah satu tahun kemudian, Komite menyebutkan, banyak dari rekomendasi yang bertujuan memberantas diskriminasi dan kekerasan berbasis jender yang masih belum diimplementasikan, dan juga, kurangnya pemahaman mengenai rekomendasi diantara institusi pemerintahan.
Kegagalan mengambil langkah nyata mengatasi diskriminasi dan kekerasan berbasis jender yang direkomendasikan Komite, membuat anak-ana dan kaum perempuan terpapar resiko pelanggaran HAM yang terus menerus, sehingga komitmen pemerintah melindungi dan mempromosikan hak-hak mereka patut dipertanyakan.
Di antara hal-hal yang dikhawatiran Komite, salah satunya adalah kehadiran hukum dan peraturan yang diskriminatif di tingkat nasional dan lokal.
Komite mengekspresikan kekhawatiran mengenai aturan dalam Undang-Undang Perkawinan misalnya terkait poligami dan usia menikah, serta hadirnya peraturan lokal yang mendiskriminasi perempuan, termasuk di Provinsi Aceh.
Komite merekomendasikan untuk mencabut atau mengamandemen semua Undang-Undang dan peraturan semacam itu dalam jangka waktu yang jelas.
Lebih lanjut, Komite secara khusus meminta Indonesia mengirim laporan dalam kurun waktu dua tahun mengenai langkah yang sudah diambil untuk meninjau UU Perkawinan dan untuk mencabut tanpa penundaan peraturan yang diskriminatif di Aceh.
Komite CEDAW juga menyatakan keperihatinannya yang mendalam mengenai apa yang digambarkan sebagai ¿kemunduran serius¿ terkait praktik mutilasi kelamin perempuan (MKP) dan merekomendasikan pihak berwenang Indonesia mengadopsi peraturan yang mengkriminalkan praktik tersebut.
Selain itu Komite CEDAW menyuarakan kekhawatiran yang mendalam dengan masih berlangsungnya kekerasan, penganiayaan dan eksploitasi yang dialami pekerja migran perempuan secara terus menerus di negara penerima dan di tangan agen penyalur jasa tenaga kerja yang memfasilitasi.
Komite membuat serangkaian rekomendasi bertujuan memberikan perlindungan yang lebih baik pada hak-hak pekerja migran, namun dari penelitian Amnesty International mengindikasikan banyak pekerja rumah tangga Indonesia yang terus menjadi korban perdagangan manusia dan kerja paksa oleh penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
Pemerintah dinilai gagal dalam menjalankan kewajibannya untuk secara layak meregulasi dan ketika diperlukan, menghukum mereka yang merugikan pekerja rumah tangga tersebut, serta mengambil tindakan terhadap agen penyalur yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
(Abd)