Ahlul Bait adalah Keluarga Terdekat Nabi Muhammad SAW, Kenali Sejarahnya

Ahlul bait adalah keluarga terdekat Nabi Muhammad SAW.

oleh Husnul Abdi diperbarui 10 Feb 2023, 10:45 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2023, 10:45 WIB
Ilustrasi unta
Ilustrasi muslim. Image by Free-Photos from Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Ahlul bait adalah istilah yang mungkin belum dipahami oleh sebagian orang. Istilah ini tentunya sesekali pernah kamu dengarkan, terutama bagi umat Islam. Oleh karena itu, kamu perlu memahami arti ahlul bait ini.

Ahlul bait adalah keluarga terdekat Nabi Muhammad SAW. Siapa saja yang menjadi keluarga terdekat Rasulullah SAW ini memang menjadi perdebatan. Terjadi perbedaan dalam penafsiran baik Muslim Syi'ah maupun Sunni.

Ahlul bait adalah istilah yang perlu dipahami oleh setiap muslim. Pasalnya, untuk mencintai Rasulullah SAW, kamu tentunya juga harus mencintai keluarga terdekatnya. Untuk itu kamu perlu memahami siapa saja yang termasuk ahlul bait ini.

Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (10/2/2023) tentang ahlul bait.

Ahlul Bait adalah

Ilustrasi Islam, Muslim
Ilustrasi Islam, Muslim. (Sumber: Pixabay)

Ahlul bait adalah istilah yang dikenal juga dengan sebutan ahli bait. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ahlul bait adalah keluarga terdekat Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Para  ulama hadits dan fuqoha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan  Ahlul bait  adalah   mereka  yang  haram  menerima  zakat  dan sedekah karena kekerabatannya dengan Rasulullah SAW,   yaitu keturunan Rasulullah,  para istri beliau, dan semua muslim serta muslimah dari keturunan ‘Abdul Muththalib yakni Bani Hasyim.

Keluarga  Nabi   atau  Ahlul bait  adalah  keluarga  Rasulullah SAW yang paling diberkahi. Setiap muslim senantiasa  bershalawat  kepada mereka dalam setiap salat, baik fardu maupun sunah. Mencintai mereka adalah tuntutan syari’at dan juga fitrah yang sehat. Tidak ada seorang muslim yang jujur dalam mencintai Rasulullah SAW melainkan pasti mencintai keluarganya. Sebagaimana halnya siapa  yang mencintai seorang tokoh, pasti ia juga mencintai keluarga  sang tokoh tersebut, terlebih lagi jika anggota keluarga tersebut adalah orang-orang yang shalih dan bertakwa.

Syiah berpendapat bahwa ahlul bait adalah keluarga nabi yang terbatas pada lima orang saja, yaitu Rasulullah sendiri, Fathimah, Ali bin Abi Thalib, Hasan, dan Husain. Sementara itu, Sunni berpendapat bahwa ahlul bait adalah keluarga Nabi Muhammad SAW dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya, hingga kadang-kadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-menantunya.

Sementara itu, dari sumber kajian Ilmu Tasawuf Syathariyah, ahlul bait adalah yang mengetahui secara persis segala hal tentang apa yang ada di dalam dadanya Nabi Muhammad SAW, utamanya hubungannya dengan keberadaan Diri-Nya Tuhan Yang Al Ghaib, yang juga selalu diingat-ingat, dihayati, dan dirasakan dalam hati nurani, roh, dan rasanya Nabi Muhammad Saw dalam melakukan apa saja, dimana saja dan sedang apa saja. 

Rasulullah SAW telah berwasiat kepada umatnya agar  menjaga dan memperhatikan   ahlul  baitnya.   Oleh   karena   itu,   memuliakan   dan mencintai ahlul bait adalah termasuk dari agama seorang muslim. Para  sahabat adalah orang-orang yang sangat menjaga wasiat Nabi  tersebut. 

Sejarah Perkembangan Ahlul Bait Setelah Wafatnya Nabi Muhammad SAW

Ilustrasi - Perkampungan umat Islam yang dikucilkan di Lembah Abi Thalib, pada masa Arab zaman Jahiliyah. (Foto: Tangkapan layar film The Message)
Ilustrasi - Perkampungan umat Islam yang dikucilkan di Lembah Abi Thalib, pada masa Arab zaman Jahiliyah. (Foto: Tangkapan layar film The Message)

Perkembangan ahlul bait adalah berkah dari doa Nabi Muhammad SAW kepada mempelai pengantin Fatimah putrinya dan Ali di dalam pernikahan yang sangat sederhana.

Doa Nabi Muhammad SAW adalah,”Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi apa yang ada pada kalian berdua, membuat kalian berbahagia dan mengeluarkan dari kalian keturunan yang banyak dan baik”

Pada masa Bani Umayyah, cucu Nabi Muhammad SAW, al-Husain bersama keluarga dibantai di Karbala, pemerintahan berikutnya dari Bani Abbasiyah yang sebetulnya masih kerabat (diturunkan melalui Abbas bin Abdul-Muththalib) tampaknya juga tak mau kalah dalam membantai keturunan Nabi Muhammad SAW yang saat itu sudah berkembang banyak, baik melalui jalur Ali Zainal Abidin satu-satunya putra Husain bin Ali yang selamat dari pembantaian di Karbala, juga melalui jalur putra-putra Hasan bin Ali.

Sejarah Perkembangan Ahlul Bait Setelah Berakhirnya Bani Abbasiyah

Ilustrasi mimpi, unta
Ilustrasi unta. (Photo by mikaelthunberg on Pixabay)

Menurut berbagai penelaahan sejarah, keturunan Hasan bin Ali banyak yang selamat dengan melarikan diri ke arah Barat hingga mencapai Maroko. Sampai sekarang, keluarga kerajaan Maroko mengklaim keturunan dari Hasan melalui cucu dia Idris bin Abdullah, karena itu keluarga mereka dinamakan dinasti Idrissiyyah. Selain itu, ulama-ulama besar seperti Syekh Abu Hasan Syadzili Maroko (pendiri Tarekat Syadziliyah) yang nasabnya sampai kepada Hasan melalui cucunya Isa bin Muhammad.

Mesir dan Iraq adalah negeri yang ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Hasan dan Husain. Abdul Qadir Jaelani seorang ulama yang dianggap sebagai Sufi terbesar dengan julukan ‘Mawar kota Baghdad’ adalah keturunan Hasan melalui cucunya Abdullah bin Hasan al-Muthanna.

Persia hingga ke arah Timur seperti India sampai Asia Tenggara (termasuk Indonesia) didominasi para ulama dari keturunan Husain bin Ali. Walaupun sebagian besar keturunan Ahlul Bait yang ada di Nusantara termasuk Indonesia adalah dari Keturunan Husain bin Ali, namun terdapat juga yang merupakan Keturunan dari Hasan bin Ali. Bahkan Keturunan Hasan bin Ali yang ada di Nusantara sempat memegang pemerintahan secara turun temurun di beberapa Kesultanan di Nusantara, yaitu Kesultanan Brunei, Kesultanan Sambas, dan Kesultanan Sulu.

Sementara dari keturunan Husain bin Ali memegang kesultanan di Jawa bagian barat, yang berasal dari Syarif Hidayatulah, yaitu Kesultanan dan Kesultanan Banten. Sebagai kerurunan Syarif Hidayatulah, keturunan mereka pun berhak menyandang gelar Syarif/Syarifah, namun dari keturunan Syarif Hidayatullah gelar tersebut akhirnya dilokalisasi menjadi Pangeran, Tubagus/Ratu (Banten) dan Raden (Sukabumi, Bogor).

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya