Mengenal Perang ISIS, Sejarah, Fase Hingga Upaya Global yang Dilakukan Pemerintah

ISIS adalah kelompok ekstremis Sunni, yang menggunakan kekerasan ekstrem, propaganda, untuk memperluas wilayah kekuasaan.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 26 Jun 2023, 14:30 WIB
Diterbitkan 26 Jun 2023, 14:30 WIB
Tentara Nigeria bersiaga menghadapi serangan kelompok militan yang berafiliasi dengan ISIS dan Boko Haram (AP)
Tentara Nigeria bersiaga menghadapi serangan kelompok militan yang berafiliasi dengan ISIS dan Boko Haram (AP)

Liputan6.com, Jakarta Perang ISIS mengacu pada konflik, yang melibatkan kelompok teroris yang dikenal sebagai Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau Daesh. Perang ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pasukan pemerintah, kelompok oposisi, dan koalisi internasional yang berupaya melawan dan menghancurkan ISIS.

ISIS didirikan pada tahun 2013 oleh Abu Bakr al-Baghdadi, sebagai kelompok ekstremis Sunni yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam yang ekstrem di wilayah Irak dan Suriah. Mereka menggunakan kekerasan ekstrem, propaganda, dan taktik teror untuk merekrut anggota, memperluas wilayah kekuasaan, dan menimbulkan ancaman global.

Perang ISIS melibatkan berbagai upaya dari komunitas internasional, dan negara-negara regional untuk menghancurkan kelompok tersebut. Upaya tersebut termasuk serangan udara, kampanye militer, dan dukungan bagi pasukan lokal yang melawan ISIS di lapangan. 

Perang ISIS telah menimbulkan dampak yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Dampaknya meliputi penderitaan manusia di wilayah yang terkena dampak, migrasi massal, kerusakan budaya dan warisan dunia, perubahan politik di wilayah Timur Tengah, dan meningkatnya ancaman terorisme global.

Berikut ini sejarah perang ISIS yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (26/6/2023). 

Sejarah Irak Perang Melawan ISIS

Tentara Irak Rayakan Kemenangan di Mosul
Anggota polisi Federal mengibarkan bendera nasional Irak saat merayakan keberhasilan mereka menyingkirkan militan ISIS dari Kota Tua Mosul, Minggu (9/7). ISIS merebut Mosul pada musim panas 2014. (AHMAD AL-RUBAYE/AFP)

Sejak pembentukannya pada tahun 2014, koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat telah berperan penting dalam memerangi ISIS. Koalisi ini terdiri dari lebih dari 70 negara yang berkomitmen untuk memberikan dukungan dalam bentuk militer, intelijen, logistik, dan bantuan kemanusiaan. Negara-negara Eropa, negara-negara di Timur Tengah, dan negara-negara lain di seluruh dunia bekerja sama dalam melawan ISIS dan menghancurkan kekuatannya.

Negara-negara koalisi kemudian menyediakan dukungan militer dan pelatihan kepada pasukan lokal yang melawan ISIS di lapangan. Di Irak, pasukan pemerintah Irak dan pasukan Kurdi (Peshmerga) telah mendapatkan bantuan dalam hal persenjataan, perlengkapan, dan pelatihan taktis. Di Suriah, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang terdiri dari kelompok Arab dan Kurdi juga menerima bantuan serupa. Dukungan ini membantu memperkuat kemampuan tempur pasukan lokal dan meningkatkan efektivitas operasi melawan ISIS.

Terlepas dari dukungannya untuk penarikan dari Irak, pemerintahan Obama mengembalikan pasukan militer Amerika ke Irak untuk berperang melawan ISIS dan kemudian memperluas perang ke Suriah. Awalnya pemerintah tidak mau ikut campur, namun melansir dari laman New America awal perang kontra-ISIS yang terjadi, pemerintah lebih mengandalkan keamanan regional, perlindungan ekstrateritorial Amerika, dan alasan perang kemanusiaan daripada logika perang preventif. 

 

 

Fase

(ilustrasi) Tentara Afghanistan saat melaksanakan operasi militer melawan ISIS di Provinsi Nangarhar, Afghanistan pada 2016 (sumber: Sputnik News Agency)
(ilustrasi) Tentara Afghanistan saat melaksanakan operasi militer melawan ISIS di Provinsi Nangarhar, Afghanistan pada 2016 (sumber: Sputnik News Agency)

Proses pengambilan keputusan perang ISIS dibagi menjadi empat fase, yang dibagi dengan momen-momen ketika Obama membuat pengumuman besar mengenai perubahan dalam pendekatan administrasi, berdasarkan review dari 28 pernyataan resmi tentang masalah yang dibuat Obama, dari Januari 2014 hingga akhir September 2014 .

Pra-Perang (Januari 2014 – 12 Juni 2014)

Melansir dari sumber yang sama, fase Pra-Perang menandai periode sebelum pemerintahan Obama mulai mempertimbangkan intervensi militer terhadap ISIS. Selama fase ini, tidak ada pernyataan resmi presiden yang secara langsung, membahas ancaman dari ISIS atau meningkatkan prospek aksi militer terhadap kelompok tersebut. Ketika Obama memberikan pidato kebijakan kontraterorismenya di West Point pada 28 Mei 2014, dia tidak menyebutkan ISIS dan menyebut penarikan pasukan Amerika dari Irak sebagai kemenangan kepresidenannya. 

Recognition of Crisis (13 Juni 2014 – 6 Agustus 2014)

Obama memberikan pidato besar pertamanya yang secara langsung, menangani ISIS dan meningkatkan prospek potensi aksi militer AS pada 13 Juni 2014. Pidato ini mengakhiri fase Pra-Perang dan diresmikan fase Pengakuan Krisis, di mana pemerintah mulai secara aktif mempertimbangkan perang. Fase Pengakuan Krisis sebagian besar dipicu oleh ISIS merebut Mosul, kota terbesar kedua di Irak, pada 10 Juni 2014. Deputi Penasihat Keamanan Nasional Ben Rhodes menggambarkan periode setelah jatuhnya Mosul, sebagai masa ketika “menjadi jelas, bahwa kita harus campur tangan lagi di Irak.”

Obama memutuskan sudah waktunya bagi AS untuk lebih terlibat secara langsung, sehingga Pada 19 Juni, Obama memberikan pernyataan kedua, di mana dia mengumumkan peningkatan aset pengawasan dan kesediaan untuk mengirim 300 penasehat tambahan ke Irak, untuk mendukung pasukan Irak.

Perang Terbatas (7 Agustus 2014 – 9 September 2014)

Pada tanggal 7 Agustus, fase Pengakuan Krisis dengan kurangnya35 aksi militer digantikan oleh fase baru yaitu Perang Terbatas. Obama mengumumkan bahwa dia telah mengesahkan dua operasi militer di Irak,  serangan untuk melindungi personel Amerika, dan serangan untuk mematahkan pengepungan ISIS dan ancaman genosida terhadap warga sipil yang terperangkap di Gunung Sinjar. Keputusan untuk memulai operasi dilaporkan masih diperdebatkan hari itu, sehingga Ben Rhodes menggambarkan 7 Agustus sebagai “titik kritis. ”

Upaya Global

Ilustrasi Anggota ISIS (AFP Photo)
Ilustrasi Anggota ISIS (AFP Photo)

Peningkatan Intelijen dan Kerjasama Keamanan

Negara-negara bekerja sama dalam berbagi intelijen dan informasi keamanan untuk melacak jaringan ISIS, mengidentifikasi anggota mereka, dan mencegah serangan teroris. Pertukaran informasi intelijen yang cepat dan efektif antara negara-negara anggota koalisi memainkan peran penting dalam mengungkap plot teroris, mencegah rekrutmen, dan menangkap individu yang terlibat dalam kegiatan teroris. Selain itu, kerjasama dalam hal penegakan hukum dan keamanan lintas batas dilakukan untuk menindak pelaku terorisme dan mencegah pergerakan anggota ISIS di antara negara-negara.

Deradikalisasi dan Pencegahan Ekstremisme

Selain fokus pada aspek militer dan keamanan, upaya dilakukan untuk mencegah dan mengatasi faktor-faktor yang memicu radikalisasi dan ekstremisme. Program-program deradikalisasi dan rehabilitasi diterapkan untuk anggota ISIS yang ditangkap atau yang berusaha meninggalkan kelompok tersebut. Pendekatan ini melibatkan rehabilitasi sosial, pendidikan, keterampilan, dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Selain itu, upaya pencegahan dilakukan melalui pendidikan, kesadaran masyarakat, promosi dialog antaragama dan budaya, serta pemulihan wilayah yang terdampak konflik.

Kontrol Perbatasan dan Keamanan Wilayah

Upaya ditingkatkan untuk meningkatkan keamanan perbatasan, dan mencegah pergerakan anggota ISIS dan penyelundupan senjata atau sumber daya lainnya. Kerjasama antarnegara dalam mengawasi perbatasan dan pertukaran informasi intelijen membantu dalam mengidentifikasi dan menghadang potensi ancaman dari anggota ISIS yang mencoba melarikan diri, atau melakukan serangan di wilayah baru. Peningkatan pengawasan dan pengendalian perbatasan juga mencegah aliran dana dan pasokan yang masuk ke dalam wilayah yang dikuasai ISIS.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya