Liputan6.com, Jakarta Pelecehan terhadap anak saat ini mencakup empat kategori utama: pelecehan fisik, seksual, emosional, dan penelantaran. Namun, sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di Child Abuse & Neglect: The International Journal dan diselenggarakan oleh badan amal Words Matter menyoroti perlunya mendefinisikan dengan jelas pelecehan verbal terhadap anak sebagai subtipe penganiayaan yang setara dengan Pelecehan Fisik atau Seksual.
Baca Juga
Advertisement
Peneliti dari UCL (University College London) dan Wingate University ini mengungkapkan bahwa pelecehan verbal pada masa kanak-kanak yang dilakukan oleh orang dewasa adalah masalah yang perlu diakui dan ditangani secara serius. Studi ini menganjurkan agar definisi pelecehan verbal konsisten, mengingat variasi pendekatan budaya terhadap tindakan ini.
Pelecehan verbal pada anak melibatkan perilaku yang merugikan kesejahteraan anak, seperti meremehkan, membentak, dan mengancam. Dampaknya tidak hanya bersifat sementara, melainkan juga berdampak jangka panjang, termasuk peningkatan risiko kemarahan, depresi, penyalahgunaan zat, cedera diri, dan obesitas.
Para peneliti menemukan bahwa pelaku utama pelecehan verbal pada masa kanak-kanak adalah orang tua, pengasuh dewasa lainnya di rumah, dan guru. Tindakan yang paling banyak didokumentasikan adalah berteriak dan menjerit. Berikut Liputan6.com mengulasnya melansir dari Sci Tech Daily, Senin (9/10/2023).
Pelecehan Emosional Jadi Penganiayaan Anak Paling Umum
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa pelecehan emosional telah menjadi bentuk penganiayaan anak yang paling umum, bahkan lebih umum daripada kekerasan fisik atau seksual.
Namun, studi ini menekankan bahwa definisi pelecehan verbal harus mencakup tidak hanya kata-kata yang digunakan tetapi juga maksud, penyampaian, dan dampaknya terhadap anak.
Istilah "pelecehan emosional" masih ambigu dan berfokus pada korban, sedangkan istilah "pelecehan verbal pada masa kanak-kanak" memiliki potensi untuk menjadi titik awal dalam pencegahan jika diakui sebagai subtipe tersendiri.
Tinjauan ini juga menggarisbawahi kebutuhan akan terminologi yang standar dalam menggambarkan tindakan "kekerasan verbal" pada anak. Istilah-istilah seperti "agresi verbal," "permusuhan verbal," dan "kekerasan verbal" digunakan secara beragam dalam penelitian, sehingga perlu ada keseragaman untuk menghindari kebingungan.
Advertisement
Meneriaki Anak Berdampak Seumur Hidup
Profesor Shanta Dube dari Wingate University, sebagai penulis utama studi ini, mengatakan bahwa pelecehan verbal pada masa kanak-kanak harus diakui sebagai subtipe pelecehan yang memiliki dampak seumur hidup.
Kesadaran dan intervensi terhadap pelecehan fisik dan seksual telah meningkat pesat, dan fokus pada "kekerasan verbal" oleh pelaku dapat membantu mencegahnya dan dampak negatif yang ditimbulkannya pada anak-anak.
“Memutus siklus antargenerasi dimulai dari orang dewasa,” kata Profesor Shanta Dube
Pendiri Words Matter, Jessica Bondy, menyatakan bahwa penting untuk memahami skala dan dampak sebenarnya dari pelecehan verbal pada masa kanak-kanak. Kata-kata memiliki kekuatan untuk mendukung atau menghancurkan perkembangan anak-anak, dan upaya kolektif harus dilakukan untuk mengenali dan mengakhiri pelecehan verbal yang dilakukan oleh orang dewasa.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, perhatian yang serius terhadap pelecehan verbal pada anak adalah langkah pertama untuk melindungi kesejahteraan mental dan emosional generasi masa depan. Mengenali dan mengatasi subtipe penganiayaan ini akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung perkembangan anak-anak yang lebih baik.