Mengenal Tanggalan Jawa: Warisan Budaya yang Masih Relevan di Era Modern

Mari kita telusuri lebih lanjut tentang sistem penanggalan unik ini

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 07 Sep 2024, 12:30 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2024, 12:30 WIB
Ilustrasi budaya, Jawa
Ilustrasi budaya, Jawa. (Photo by Renda Eko Riyadi: https://www.pexels.com/photo/people-wearing-traditional-dress-2912492/)

Liputan6.com, Jakarta Tanggalan Jawa, juga dikenal sebagai kalender Jawa, merupakan salah satu warisan budaya yang masih digunakan hingga saat ini di berbagai wilayah di Pulau Jawa. Sistem penanggalan ini memiliki keunikan tersendiri, menggabungkan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang pernah berpengaruh di tanah Jawa. Meskipun kita hidup di era digital dengan berbagai kalender modern, tanggalan Jawa masih memiliki tempat khusus di hati masyarakat Jawa dan mereka yang mengapresiasinya.

Sejarah tanggalan Jawa yang kita kenal saat ini dimulai pada masa pemerintahan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram pada abad ke-17. Tanggalan Jawa merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka yang berbasis solar (matahari) dan sistem penanggalan Hijriah yang berbasis lunar (bulan). Keunikan tanggalan Jawa ini menjadikannya sistem penanggalan yang kompleks namun sarat makna, mencerminkan kearifan lokal dan pandangan hidup masyarakat Jawa.

Hingga kini, tanggalan Jawa masih digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa. Mulai dari penentuan hari baik untuk berbagai kegiatan penting seperti pernikahan, khitanan, dan mendirikan rumah, hingga perayaan hari-hari besar tradisional. Pemahaman tentang tanggalan Jawa tidak hanya penting bagi pelestarian budaya, tetapi juga memberikan wawasan mendalam tentang filosofi dan pandangan hidup masyarakat Jawa. 

Mari kita telusuri lebih lanjut tentang sistem penanggalan unik ini, dalam rangkuman yang telah Liputan6.com rangkum pada Sabtu (7/9).

Asal-Usul Tanggalan Jawa

Ilustrasi budaya, Jawa
Ilustrasi budaya, Jawa. (Photo by Fauzan on Unsplash)

Tanggalan Jawa, yang juga dikenal sebagai Kalender Sultan Agungan, memiliki sejarah yang menarik dan panjang. Sistem penanggalan ini diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung, raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645. Sebelum terciptanya tanggalan Jawa, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India dan berbasis pada pergerakan matahari (solar).

Sultan Agung, dengan visinya untuk menyatukan aspek budaya dan agama, menginginkan sebuah sistem penanggalan yang dapat menyelaraskan perayaan adat dengan hari-hari besar Islam. Untuk itu, beliau menciptakan sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriah.

Keunikan tanggalan Jawa terletak pada caranya memadukan beberapa sistem penanggalan, yaitu:

  • Sistem penanggalan Islam (Hijriah)
  • Sistem penanggalan Hindu (Saka)
  • Sedikit unsur dari sistem penanggalan Julian (budaya Barat)

Tanggalan Jawa meneruskan perhitungan tahun dari kalender Saka, namun mengubah sistem perhitungannya menjadi berbasis pergerakan bulan, seperti kalender Hijriah. Perubahan ini dilakukan tanpa memutus perhitungan dari tatanan lama, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dalam masyarakat maupun catatan sejarah.

Sistem penanggalan ini kemudian dikenal sebagai Candrasangkala Jawa, yang berarti perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan mengitari bumi. Meskipun mengadopsi sistem penanggalan Hijriah, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya, terutama dalam penetapan pergantian hari saat pergantian bulan (sasi).

Siklus Hari Pasaran dalam Tanggalan Jawa

Ilustrasi ucapan ulang tahun, bahasa Jawa
Ilustrasi ucapan ulang tahun, bahasa Jawa. (Photo by lanlanee on Pixabay)

Salah satu keunikan tanggalan Jawa adalah adanya siklus hari pasaran. Berbeda dengan kalender pada umumnya yang hanya mengenal siklus tujuh hari, tanggalan Jawa mengenal beberapa siklus hari, mulai dari dua hingga sepuluh hari. Siklus-siklus ini dikenal dengan nama dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara, astawara, dan sangawara.

Dua siklus yang masih digunakan hingga saat ini adalah:

  • Saptawara (siklus tujuh hari)
  • Pancawara (siklus lima hari)

Saptawara (Padinan)

Saptawara terdiri dari tujuh hari yang berkaitan dengan sistem bulan-bumi. Siklus ini serupa dengan siklus mingguan dalam kalender Masehi. Nama-nama hari dalam saptawara adalah:

  • Radite (Minggu) - melambangkan diam
  • Soma (Senin) - melambangkan maju
  • Anggara (Selasa) - melambangkan mundur
  • Buda (Rabu) - melambangkan bergerak ke kiri
  • Respati (Kamis) - melambangkan bergerak ke kanan
  • Sukra (Jumat) - melambangkan naik ke atas
  • Tumpak (Sabtu) - melambangkan bergerak turun

Pancawara (Pasaran)

Pancawara adalah siklus lima hari yang juga dikenal sebagai hari pasaran. Siklus ini dahulu digunakan oleh para pedagang untuk menentukan hari buka pasar. Nama-nama hari dalam pancawara adalah:

  • Kliwon (Kasih) - melambangkan berdiri
  • Legi (Manis) - melambangkan berbalik arah ke belakang
  • Pahing (Jenar) - melambangkan menghadap
  • Pon (Palguna) - melambangkan tidur
  • Wage (Cemengan) - melambangkan duduk

Kombinasi antara saptawara dan pancawara menciptakan siklus 35 hari yang unik dalam tanggalan Jawa, memberikan karakteristik tersendiri pada setiap hari.

 

Siklus Bulan dalam Tanggalan Jawa

Ilustrasi tarian Jawa, Indonesia, budaya
Ilustrasi tarian Jawa, Indonesia, budaya. (Photo by Farano Gunawan on Unsplash)

Tanggalan Jawa, seperti kalender lainnya, memiliki 12 bulan dalam setahun. Nama-nama bulan dalam tanggalan Jawa merupakan adaptasi dari nama-nama bulan dalam kalender Hijriah yang disesuaikan dengan lidah Jawa. Berikut adalah nama-nama bulan dalam tanggalan Jawa beserta jumlah harinya:

  • Sura (30 hari)
  • Sapar (29 hari)
  • Mulud atau Rabingulawal (30 hari)
  • Bakda Mulud atau Rabingulakir (29 hari)
  • Jumadilawal (30 hari)
  • Jumadilakir (29 hari)
  • Rejeb (30 hari)
  • Ruwah (29 hari)
  • Pasa (30 hari)
  • Sawal (29 hari)
  • Séla (Dulkangidah) (30 hari)
  • Besar (Dulkahijjah) (29 atau 30 hari)

Masing-masing bulan memiliki makna dan karakter tersendiri. Misalnya, bulan Pasa berkaitan dengan puasa Ramadan, Mulud berkaitan dengan Maulid Nabi, dan Ruwah berkaitan dengan Nisfu Sya'ban.

Siklus Tahun dalam Tanggalan Jawa

Sistem penanggalan Jawa memiliki beberapa siklus tahun yang unik:

  • Siklus Windu: Satu windu terdiri dari delapan tahun. Masing-masing tahun dalam satu windu memiliki nama: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
  • Siklus 32 Tahun: Terdiri dari empat windu yang diberi nama Kuntara, Sangara, Sancaya, dan Adi.
  • Siklus Khurup: Setiap 120 tahun, terdapat perbedaan satu hari antara tahun Jawa dan tahun Hijriah. Periode 120 tahun ini disebut khurup.

Dalam satu windu, terdapat tahun panjang (Taun Wuntu) yang berjumlah 355 hari dan tahun pendek (Taun Wastu) yang berjumlah 354 hari. Tahun Ehe, Dal, dan Jimakir adalah tahun panjang, sedangkan sisanya adalah tahun pendek.

Wuku dan Neptu dalam Tanggalan Jawa

Selain siklus hari, bulan, dan tahun, tanggalan Jawa juga mengenal konsep Wuku dan Neptu:

  • Wuku: Terdapat 30 Wuku yang masing-masing berlangsung selama 7 hari. Satu siklus Wuku berdurasi 210 hari dan disebut Dapur Wuku. Wuku dianggap menentukan watak seseorang yang lahir pada periode tersebut.

Neptu: Digunakan untuk melihat nilai dari suatu hari. Ada dua jenis Neptu:

  • Neptu Dina: Nilai untuk hari-hari dalam saptawara
  • Neptu Pasaran: Nilai untuk hari-hari dalam pancawara

Nilai-nilai ini digunakan untuk menghitung baik buruknya hari terkait kegiatan tertentu dan perwatakan seseorang yang lahir pada hari tersebut.

Implementasi Tanggalan Jawa dalam Kehidupan Modern

Meskipun kita hidup di era modern, tanggalan Jawa masih memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Beberapa implementasi tanggalan Jawa meliputi:

  • Penentuan hari baik untuk pernikahan
  • Pemilihan waktu yang tepat untuk khitanan
  • Penentuan waktu untuk upacara kematian
  • Pemilihan hari baik untuk mendirikan rumah
  • Penentuan waktu yang tepat untuk bepergian

Banyak masyarakat Jawa masih meyakini pentingnya menentukan hari baik berdasarkan tanggalan Jawa sebelum melaksanakan kegiatan-kegiatan penting. Hal ini mencerminkan bagaimana tanggalan Jawa masih dianggap memiliki nilai kesakralan dan dihormati oleh masyarakat.

Tanggalan Jawa merupakan warisan budaya yang unik dan kaya akan makna. Sistem penanggalan ini mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jawa dalam memadukan berbagai unsur budaya dan kepercayaan. Meskipun kita hidup di era modern, pemahaman tentang tanggalan Jawa tetap relevan, tidak hanya sebagai upaya pelestarian budaya, tetapi juga sebagai jendela untuk memahami filosofi dan pandangan hidup masyarakat Jawa.

Dalam konteks yang lebih luas, keberadaan dan penggunaan tanggalan Jawa di era modern menunjukkan bagaimana tradisi dapat tetap bertahan dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ini menjadi pengingat bahwa warisan budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi juga bagian integral dari identitas kita yang terus berkembang.

Dengan memahami dan menghargai sistem penanggalan seperti tanggalan Jawa, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga memperkaya pemahaman kita tentang keberagaman cara manusia memandang dan mengorganisir waktu. Hal ini pada akhirnya dapat mendorong rasa hormat dan apresiasi terhadap kearifan lokal dan keberagaman budaya di Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya