Liputan6.com, Jakarta Dalam mozaik budaya Indonesia yang kaya, terdapat satu tradisi yang kontroversial namun telah mengakar kuat dalam masyarakat Madura - tradisi carok. Bagi masyarakat Madura, carok adalah manifestasi dari prinsip hidup yang menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Tradisi carok telah menjadi bagian dari identitas budaya Madura selama berabad-abad, meski saat ini praktiknya semakin berkurang. Fenomena ini tidak sekadar pertarungan fisik, melainkan mencerminkan sistem nilai sosial yang kompleks, di mana harga diri dan kehormatan menjadi hal yang sangat dijunjung tinggi.
Peribahasa Madura "Lebbi bagus pote tolang, etembang pote mata" yang berarti "lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu" menjadi landasan filosofis yang mendasari tradisi carok. Prinsip ini menggambarkan betapa pentingnya mempertahankan harga diri dalam budaya Madura.
Untuk memahami lebih dalam tentang apa itu carok, simak penjelasan selengkapnya berikut ini sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (26/11/2024).
Pengertian dan Definisi Carok
Memahami carok tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Madura. Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kultural Madura, meski seringkali menimbulkan kontroversi karena melibatkan unsur kekerasan. Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, mari kita telusuri definisi dan pengertiannya secara komprehensif.
Carok adalah tradisi pertarungan menggunakan senjata tajam, khususnya celurit, yang dilakukan untuk mempertahankan harga diri atau menyelesaikan konflik di kalangan masyarakat Madura. Dalam bahasa Kawi Kuno, carok berarti "perkelahian" atau bisa juga diartikan sebagai ecacca erok-orok yang berarti "dibantai". Tradisi ini bukan sekadar bentuk kekerasan biasa, melainkan memiliki makna sosial dan kultural yang dalam bagi masyarakat Madura.
Sebagai cara terakhir dalam menyelesaikan konflik, carok memiliki aturan dan etika tersendiri. Pertarungan ini umumnya dilakukan oleh laki-laki dan bersifat satu lawan satu, meskipun dalam perkembangannya kadang melibatkan kelompok yang lebih besar. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua perkelahian atau pembunuhan di Madura bisa dikategorikan sebagai carok. Hanya pertarungan yang berkaitan dengan pembelaan kehormatan dan harga diri yang dianggap sebagai carok.
Motif utama dilakukannya carok biasanya berkaitan dengan empat hal: gangguan terhadap kehormatan istri, sengketa tanah, pembelaan diri dari ancaman pembunuhan, dan pembalasan dendam akibat penghinaan yang berat. Dalam konteks budaya Madura, gangguan terhadap istri dianggap sebagai penghinaan terberat yang harus dibalas dengan carok.
Masyarakat Madura memiliki ungkapan "Oreng Lake' Mate' Acarok, Oreng Bini' Mate' Arembi'" yang berarti "lelaki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan". Ungkapan ini menunjukkan bahwa carok dianggap sebagai urusan laki-laki dan berkaitan erat dengan konsep kejantanan dalam budaya Madura. Seorang laki-laki yang tidak berani melakukan carok ketika harga dirinya dilecehkan dianggap "bukan laki-laki" atau lo' lake'.
Dalam perkembangan modern, definisi dan praktik carok mengalami pergeseran. Jika dulu carok lebih banyak dilakukan dengan pertimbangan matang dan aturan yang ketat, saat ini seringkali terjadi secara spontan dan kadang melibatkan kekerasan yang tidak terkendali. Hal ini menimbulkan keprihatinan di kalangan tokoh masyarakat dan pemuka agama Madura.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa carok adalah manifestasi kompleks dari sistem nilai budaya Madura yang berkaitan dengan harga diri, kehormatan, dan cara penyelesaian konflik. Meski mengandung unsur kekerasan, pemahaman terhadap carok tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-budaya masyarakat Madura yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan dan harga diri. Namun, dalam konteks modern, tradisi ini perlu ditransformasikan ke dalam bentuk penyelesaian konflik yang lebih konstruktif dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Advertisement
Sejarah dan Asal Usul Carok
Tradisi carok memiliki latar sejarah yang panjang dan kompleks, berakar dari perjuangan masyarakat Madura melawan penjajahan dan ketidakadilan. Untuk memahami tradisi ini secara utuh, kita perlu menelusuri perjalanan historisnya yang dimulai jauh sebelum masa kolonial Belanda. Pemahaman terhadap sejarah ini penting untuk mengetahui bagaimana carok berkembang dari simbol perlawanan menjadi tradisi penyelesaian konflik dalam masyarakat Madura.
Menariknya, sebelum abad ke-18, istilah "carok" belum dikenal dalam masyarakat Madura. Pada masa Kerajaan Madura di bawah pemerintahan Prabu Cakraningrat hingga masa Penembahan Semolo, konflik diselesaikan melalui pertarungan kesatria menggunakan pedang atau keris. Pertarungan ini masih memegang teguh nilai-nilai kesatriaan dan dilakukan dengan aturan yang ketat.
Transformasi besar dalam sejarah carok terjadi saat kedatangan VOC dan masa kolonial Belanda di Madura sekitar tahun 1700. Ketika Belanda mendapatkan kekuasaan atas Madura, terjadi perubahan signifikan dalam struktur sosial dan cara masyarakat menyelesaikan konflik. Pemerintah kolonial memberlakukan berbagai pembatasan, termasuk larangan membawa senjata pada tahun 1863, yang justru mendorong penggunaan senjata alternatif seperti celurit.
Tokoh kunci dalam sejarah carok adalah Pak Sakera, seorang mandor tebu di pabrik gula milik Belanda yang menggunakan celurit sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan kolonial. Setelah Pak Sakera dihukum gantung di Pasuruan, celurit yang awalnya merupakan alat pertanian berubah menjadi simbol perlawanan rakyat. Namun, Belanda dengan cerdik memanfaatkan situasi ini dengan menghasut dan mengadu domba masyarakat, terutama dengan melibatkan golongan Blater (jagoan).
Strategi Belanda untuk mengubah makna celurit dari senjata perlawanan menjadi senjata carok dilakukan dengan sangat sistematis. Mereka sengaja memberikan celurit kepada kaum Blater untuk merusak citra Pak Sakera yang merupakan seorang santri dan pejuang muslim. Akibatnya, persepsi masyarakat terhadap celurit berubah dari simbol perjuangan melawan penjajah menjadi simbol kekerasan dan pertarungan harga diri.
Pada abad ke-19, pemerintah kolonial berusaha meningkatkan keamanan di Madura dengan menetapkan berbagai aturan tambahan. Namun, usaha ini justru mendorong praktik carok ke wilayah-wilayah terpencil di Madura. Pola pemukiman yang tersebar dan struktur desa yang longgar membuat kontrol pemerintah sulit dilakukan, sehingga praktik carok tetap berlangsung.
Setelah kemerdekaan Indonesia, carok mengalami perubahan makna dan fungsi. Tradisi ini tidak lagi sekadar simbol perlawanan terhadap penindasan, tetapi berkembang menjadi mekanisme penyelesaian konflik yang berkaitan dengan harga diri dan kehormatan. Meski demikian, esensi carok sebagai manifestasi nilai-nilai kejantanan dan kehormatan dalam budaya Madura tetap terpelihara.
Memahami sejarah carok memberikan gambaran bagaimana sebuah tradisi dapat berevolusi akibat pengaruh kolonialisme dan perubahan sosial. Dari awalnya sebagai pertarungan kesatria, berubah menjadi simbol perlawanan rakyat, hingga akhirnya menjadi mekanisme penyelesaian konflik dalam masyarakat. Transformasi ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya dapat beradaptasi dan bertahan dalam berbagai kondisi sosial-politik yang berbeda. Meski saat ini praktik carok mulai berkurang dan banyak dikritik, pemahaman terhadap sejarahnya tetap penting untuk memahami kompleksitas budaya Madura dan mencari alternatif penyelesaian konflik yang lebih konstruktif.
Tata Cara dan Persyaratan Carok
Meski seringkali dipandang sebagai tindakan kekerasan semata, tradisi carok sebenarnya memiliki aturan dan tata cara yang ketat. Bagi masyarakat Madura, carok bukan sekadar pertarungan fisik, melainkan ritual yang membutuhkan persiapan mental, spiritual, dan fisik yang menyeluruh. Pemahaman terhadap tata cara dan persyaratan ini penting untuk mengetahui bahwa carok bukanlah tindakan spontan tanpa aturan.
Persyaratan Mendasar
1. Kadigdajan (Latihan Bela Diri)
Sebelum melakukan carok, seseorang harus menguasai ilmu bela diri. Latihan ini tidak hanya mencakup kemampuan fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Kadigdajan diibaratkan sebagai "sedia payung sebelum hujan" - persiapan mendasar yang harus dimiliki setiap laki-laki Madura. Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun dan melibatkan berbagai jenis latihan, termasuk penguasaan teknik menggunakan celurit.
2. Tamping Sereng (Kekebalan Supranatural)
Aspek spiritual dalam carok terwujud dalam ritual meminta jampi-jampi kekebalan. Praktik ini menunjukkan bahwa masyarakat Madura masih memegang kepercayaan animisme dan dinamisme. Tamping sereng tidak hanya bertujuan mendapatkan kekebalan fisik, tetapi juga kekuatan mental dan spiritual untuk menghadapi pertarungan. Ritual ini biasanya dilakukan dengan bantuan dukun atau orang yang dianggap memiliki kemampuan supernatural.
3. Banda (Modal dan Persiapan Material)
Persyaratan ini mencakup kesiapan finansial dan material untuk menghadapi konsekuensi carok. Banda tidak hanya berarti uang, tetapi juga mencakup persiapan untuk keluarga jika sesuatu terjadi pada pelaku carok. Jumlah modal yang dikeluarkan tidak menjadi masalah karena yang terpenting adalah mempertahankan kehormatan.
Â
Metode Pelaksanaan
1. Ngonggai (Pertarungan Berhadapan)
Cara ini dianggap paling terhormat dalam tradisi carok. Pelaku secara langsung mendatangi rumah lawannya untuk menantang bertarung. Metode ini membutuhkan keberanian luar biasa dan persiapan matang karena kedua belah pihak akan berhadapan secara langsung. Pertarungan biasanya dilakukan di tempat dan waktu yang telah disepakati, dengan disaksikan oleh beberapa orang sebagai saksi.
2. Nyelep (Penyerangan Tidak Langsung)
Metode ini dianggap kurang terhormat karena dilakukan dengan cara menyerang dari belakang atau samping ketika lawan lengah. Meski dianggap kurang ksatria, cara ini tetap dipilih oleh sebagian pelaku carok, terutama ketika mereka merasa tidak memiliki kekuatan yang seimbang dengan lawannya.
Â
Peraturan dan Etika
1. Keterlibatan Pihak Lain
Dalam kasus carok yang melibatkan lebih dari satu orang, biasanya pelaku dibantu oleh kerabat dekat (taretan dalem) yang memiliki reputasi sebagai jagoan. Namun, ada aturan tidak tertulis bahwa pertarungan harus tetap seimbang dan adil.
2. Waktu dan Tempat
Penentuan waktu dan tempat carok harus disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini untuk memastikan pertarungan berlangsung secara terhormat dan memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk mempersiapkan diri.
Tradisi carok dengan segala tata cara dan persyaratannya mencerminkan kompleksitas budaya Madura yang menjunjung tinggi nilai kehormatan. Meski saat ini praktik ini mulai ditinggalkan dan digantikan cara penyelesaian konflik yang lebih modern, pemahaman terhadap tata cara dan persyaratannya tetap penting untuk mengetahui bahwa carok bukan sekadar tindakan kekerasan tanpa aturan, melainkan manifestasi sistem nilai yang telah mengakar dalam masyarakat Madura. Transformasi dari cara-cara penyelesaian konflik tradisional ke metode yang lebih konstruktif perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang mendasari tradisi ini.
Advertisement
Perspektif Hukum terhadap Carok
Dalam konteks negara hukum modern, tradisi carok menghadirkan dilema tersendiri. Di satu sisi, tradisi ini telah mengakar dalam budaya Madura dan dianggap sebagai mekanisme penyelesaian konflik yang sah oleh sebagian masyarakat. Di sisi lain, praktik carok jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ketegangan antara hukum adat dan hukum positif ini menciptakan tantangan tersendiri dalam penanganan kasus-kasus carok.
Secara hukum formal, carok dikategorikan sebagai tindak pidana yang dapat dikenakan berbagai pasal dalam KUHP. Pelaku carok dapat dijerat dengan Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 338 tentang pembunuhan, atau bahkan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Pasal-pasal ini membawa konsekuensi hukum yang berat, dengan ancaman hukuman yang bisa mencapai hukuman seumur hidup atau hukuman mati untuk kasus pembunuhan berencana.
Menariknya, dalam praktik penegakan hukum, penanganan kasus carok seringkali tidak sesederhana menerapkan pasal-pasal KUHP. Para penegak hukum harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dimensi budaya dan nilai-nilai sosial yang melekat pada tradisi ini. Tidak jarang, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku carok relatif lebih ringan dibandingkan kasus pembunuhan biasa, dengan mempertimbangkan konteks budaya dan motivasi di balik tindakan tersebut.
Dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum telah mencoba menerapkan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif. Pendekatan ini berusaha memulihkan keseimbangan sosial dan mencegah terjadinya carok balasan melalui mediasi dan kesepakatan antara pihak-pihak yang berkonflik. Tokoh masyarakat, terutama para kiai, sering dilibatkan dalam proses mediasi ini mengingat pengaruh mereka yang kuat dalam masyarakat Madura.
Kompleksitas penanganan kasus carok juga terlihat dari fenomena carok massal dan carok balasan. Dalam kasus seperti ini, identifikasi pelaku dan penentuan derajat kesalahan menjadi sangat rumit. Belum lagi adanya potensi konflik berkelanjutan karena tradisi balas dendam yang seringkali menyertai praktik carok.
Upaya pencegahan carok melalui jalur hukum juga menghadapi tantangan karena kuatnya nilai-nilai budaya yang mendukung praktik ini. Masyarakat Madura memiliki ungkapan "Mon tak bengal acarok jha' ngako oreng Madhura" (Jika tidak berani melakukan carok, jangan mengaku orang Madura), yang menunjukkan betapa dalamnya tradisi ini mengakar dalam identitas budaya mereka.
Perkembangan terkini menunjukkan adanya pergeseran sikap masyarakat Madura terhadap carok. Penelitian yang dilakukan oleh Rokhyanto dan Marsuki pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 75% responden dari berbagai kabupaten di Madura menyatakan tidak bangga dengan tradisi carok dan lebih memilih cara penyelesaian konflik yang lebih bijak. Temuan ini memberikan harapan bagi upaya transformasi budaya ke arah penyelesaian konflik yang lebih konstruktif dan sesuai hukum.
Pendekatan hukum terhadap carok perlu terus dikembangkan dengan memperhatikan keseimbangan antara penegakan hukum dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya. Diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan tidak hanya aparat penegak hukum, tetapi juga tokoh agama, pemuka adat, dan seluruh elemen masyarakat untuk mencari alternatif penyelesaian konflik yang lebih konstruktif tanpa menghilangkan esensi penghargaan terhadap harga diri yang menjadi nilai dasar dalam budaya Madura.
Yang terpenting, transformasi budaya carok ke dalam sistem hukum modern harus dilakukan secara bertahap dan bijaksana. Penekanan pada pendidikan hukum, penguatan kesadaran akan hak asasi manusia, dan pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif perlu terus digalakkan untuk menciptakan masyarakat yang lebih damai tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya yang positif.
Kasus Carok di Sampang: Dari Konflik Politik Hingga Penanganan Hukum
Salah satu contoh kasus carok yang sedang aktual belakangan ini adalah yang terjadi di Desa Ketapang Laok, Sampang, Madura pada November 2024. Kasus ini cukup menarik perhatian publik karena melibatkan dimensi politik dalam konteks Pilkada. Peristiwa ini menambah kompleksitas penanganan kasus carok yang tidak lagi sekadar tentang harga diri personal, tetapi juga bersinggungan dengan dinamika politik lokal. Kasus ini menjadi cermin bagaimana tradisi carok terus berevolusi dan membutuhkan pendekatan penanganan yang lebih komprehensif.
Berdasarkan keterangan Dirreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Farman, kasus ini bermula dari kunjungan H Slamet Junaidi, paslon nomor urut 2 Pilkada Sampang, ke padepokan Babussalam milik Kiai Mualif. Kunjungan yang bersifat mendadak ini memicu konflik antara dua tokoh agama bersaudara, yaitu Kiai Mualif dan Kiai Hamduddin. Perselisihan ini berujung pada aksi carok yang menewaskan Jimmy Sugito Putra, yang merupakan saksi dari paslon tersebut.
Motif di balik carok ini menunjukkan pergeseran dari pola tradisional. Jika sebelumnya carok lebih sering dipicu oleh persoalan kehormatan keluarga atau sengketa tanah, kasus ini memperlihatkan bagaimana politik dapat menjadi pemicu baru. Kiai Hamduddin merasa kehormatannya sebagai tokoh senior dilanggar karena tidak dimintai izin atas kunjungan politik tersebut, yang kemudian berujung pada konflik fisik.
Dalam penanganan kasus ini, pihak kepolisian mengambil langkah cepat dengan menurunkan tim dari Polda Jatim untuk memback-up penyelidikan Polres Sampang. Pendekatan yang dilakukan tidak hanya fokus pada pengungkapan pelaku, tetapi juga upaya pencegahan konflik yang lebih luas mengingat konteks politik yang melatarbelakangi kasus ini.
Kompleksitas kasus ini juga terlihat dari korban yang berjatuhan - Jimmy Sugito Putra mengalami berbagai luka serius termasuk luka robek di kepala sepanjang 12 sentimeter, luka bacok di pipi sepanjang 21 sentimeter, dan berbagai luka lainnya yang menunjukkan brutalitas aksi tersebut. Kondisi ini menambah urgensi bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus dengan serius sambil mencegah potensi konflik susulan.
Penanganan kasus ini juga melibatkan berbagai pihak, termasuk Bawaslu yang diminta untuk mencegah potensi konflik dalam Pilkada serentak 2024. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bahkan turut memberikan perhatian dengan mengingatkan pentingnya mencegah perpecahan akibat perbedaan pilihan politik.
Kasus carok di Sampang ini menjadi pembelajaran penting tentang bagaimana tradisi lokal dapat berinteraksi dengan dinamika politik modern dan menciptakan potensi konflik yang lebih kompleks. Penanganannya membutuhkan pendekatan multi-dimensi yang tidak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan politik. Yang terpenting, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya transformasi cara penyelesaian konflik dalam masyarakat yang sedang mengalami modernisasi, terutama dalam konteks politik lokal.
Tradisi carok mencerminkan kompleksitas hubungan antara budaya, kehormatan, dan kekerasan dalam masyarakat Madura. Meski saat ini praktiknya semakin berkurang dan banyak ditentang, pemahaman terhadap fenomena ini tetap penting sebagai pembelajaran dalam mengelola konflik sosial dan mentransformasikan nilai-nilai tradisional ke dalam konteks modern.
Advertisement