4 Ketentuan Puasa Ramadan bagi Musafir, Kenali Hukum Serta Penjelasannya

Ketentuan puasa Ramadan bagi musafir dalam membatalkan atau melanjutkan puasa tergantung pada beberapa kondisi.

oleh Husnul Abdi diperbarui 30 Apr 2021, 04:45 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2021, 04:45 WIB
Ketentuan Puasa Ramadan bagi Musafir
Ketentuan Puasa Ramadan bagi Musafir. (Ilustrasi: Pexels.com)

Liputan6.com, Jakarta Ketentuan puasa Ramadan bagi musafir perlu kamu kenali. Apalagi, di Indonesia puasa Ramadan identik dengan tradisi mudik menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan memang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa.

Namun, ada berbagai ketentuan bagi musafir jika ingin membatalkan puasa Ramadan atau tetap melanjutkannya. Sayyidah Aisyah ra menceritakan bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami ra pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa saat perjalanan.

"Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai puasa dalam perjalanan. Lantas beliau pun menjawab, 'Jika kamu menghendaki maka berpuasalah, dan jika kamu tidak menghendaki maka batalkanlah". (HR. Muslim).

Ketentuan puasa Ramadan bagi musafir dalam membatalkan atau melanjutkan puasa tergantung pada kondisi. Ada kondisi yang menyebabkan kamu harus dan boleh membatalkan puasa, ada pula kondisi yang membuat kamu tidak boleh membatalkannya.

Walaupun boleh membatalkan atau tidak berpuasa, seorang musafir tetap wajib mengganti pausa tersebut di luar bulan Ramadan. Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (20/4/2021) tentang ketentuan puasa Ramadan bagi musafir.

Haram Berpuasa

Ketentuan Puasa Ramadan bagi Musafir
Ketentuan Puasa Ramadan bagi Musafir (dok.unsplash/ JESHOOTS.COM)

Ketentuan puasa Ramadan bagi musafir yang pertama adalah haram berpuasa jika kamu menduga akan terjadi kerusakan pada dirimu, anggota tubuh atau fungsi (dari tubuh) karena puasa. Atau sebenarnya tidak membahayakan untuk sekarang, namun berpikir akan membahayakan untuk di masa yang akan datang.

Jadi, pada kondisi seperti ini kamu diwajibkan berbuka atau tidak berpuasa. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh imam al Bajuri di dalam kitabnya:

“Bahkan bila seseorang menduga kuat akan meninggal, rusaknya anggota tubuh, dan fungsinya sebab puasa, maka haram baginya berpuasa sebagaimana al-Ghazali berpendapat dalam al-Mustashfa. Jika ia tidak merasa berbahaya pada saat berpuasa, namun dikhawatirkan terjadi bahaya di waktu mendatang, maka berbuka puasa itu lebih baik baginya, sebagaimana al-Rafi‘i menukil dari kitab at-Tatimmah, dan ia membenarkan pendapat tersebut.”

Makruh Berpuasa

Ketentuan puasa Ramadan bagi musafir kedua, menjadi makruh berpuasa bagi kamu yang sudah memenuhi syarat diperbolehkannya tidak berpuasa bagi musafir. Syarat tersebut antara lain:

- Perjalanan yang ditempuh adalah perjalanan yang diperbolehkan qasar salat,

- Perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk melakukan kemaksiatan,

- Perjalanan yang dilakukan adalah pada malam hari sebelum terbit fajar Subuh dan melewati batas desa sebelum fajar Subuh tiba.

Jadi, jika kamu pada kondisi seperti yang telah disebutkan, bagi musafir disunahkan untuk berbuka puasa. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu Bakar al Ahdali dalam kitab nadzam qawaid fiqhiyyahnya yang berjudul al Faraid al Bahiyyah.

Wajib Berpuasa

Ketentuan Puasa Ramadan bagi Musafir
Ketentuan Puasa Ramadan bagi Musafir. Credit: pexels.com/Annie

Ketentuan puasa Ramadan bagi musafir yang ketiga yaitu wajib berpuasa bagi musafir yang tidak memenuhi syarat diperbolehkannya tidak berpuasa. Sayaratnya sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu musafir yang menempuh perjalanan yang belum diperbolehkan mengqasar salat (kurang dari 81 kilometer), perjalanannya untuk melakukan kemaksiatan, perjalanan yang dilakukan setelah fajar Subuh dan musafir itu telah menetap di suatu tempat.

Lebih Baik Berpuasa

Berpuasa lebih utama daripada berbuka bagi musafir yang sudah memenuhi syarat dan kamu tidak merasa berat atau kesulitan, bahkan kamu kuat dan tidak ada bahaya yang ditimbulkan. Bahkan inilah yang dipilih oleh jumhur ulama’ (mayoritas ulama) sebagaimana yang diterangkan oleh Hasan Sulaiman anNuri di dalam kitab Ibanatul Ahkam.

Namun, pendapat itu berbeda dengan Imam Ahmad yang mengatakan lebih utama berbuka daripada berpuasa meskipun ia kuat, berdasarkan hadis “Tidak ada kebaikan berpuasa di dalam perjalanan.”(HR. Albukhari dan Muslim).

Inilah hukum puasa bagi musafir. Jadi, jika dengan berpuasa dapat menimbulkan bahaya pada diri kamu, maka puasa diharamkan baginya. Selain itu, jika kamu belum memenuhi persyaratan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi musafir, maka kamu wajib berpuasa.

Tetapi, jika kamu sudah memenuhi syarat, maka makruh baginya untuk menjalankan puasa, yakni sunnah untuk berbuka. Adapun jika kamu sudah memenuhi syarat diperbolehkannya tidak berpuasa dan kamu masih tetap kuat untuk menjalankan puasa serta tidak ada bahaya baginya, maka berpuasa lebih utama untuk dikerjakan.

Terlebih lagi perjalanan sebagaimana kondisi saat ini sudah terasa lebih ringan dan tidak melelahkan, karena terdapat pesawat dan alat transportasi yang bisa membawa para musafir cepat sampai tujuan, meskipun perjalanan yang ditempuh sangatlah jauh. Hal ini sebagaimana ayat Alquran surah 184 menjelaskan “Dan puasamu itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Wa Allahu A’lam bis Shawab.

Ketentuan Puasa Ramadan bagi Musafir

Ilustrasi penumpang pesawat
Ilustrasi penumpang pesawat (Dok.Unsplash/ Suhyeon Choi)

1. Boleh tidak berpuasa jika  menempuh jarak perjalanan yang membolehkan meng-qashar shalat. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal kilometer yang ditempuh untuk bisa meng-qashar shalat. Ini bisa dimengerti karena berbagai dalil yang menuturkan hal ini tidak menggunakan ukuran kilometer tapi menggunakan ukuran yang biasa dipakai oleh bangsa Arab saat itu yakni empat burud yang kemudian dikonfersikan menjadi empat puluh delapan mil menurut ukuran Hasyimi, dan empat puluh mil menurut ukuran Bani Umayah (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah [Kuwait: 1980], juz 25, hal. 28-29). Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji (Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. 1, hal. 191) secara jelas Dr. Musthofa Al-Khin dan kawan-kawan mengkonversikan ukuran ini ke dalam ukuran kilometer dengan bilangan 81 kilometer.

2. Boleh tidak berupuasa jika perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk melakukan suatu kemaksiatan.

3. Boleh tidak berpuasa jika perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum terbit fajar (waktu subuh) telah melewati batas daerah tempat tinggalnya, dalam konteks wilayah Indonesia adalah batas kelurahan. (Bila musafir pergi setelah terbitnya fajar maka tidak diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada hari itu.)

4. Seorang musafir (yang dalam keadaan melakukan perjalanan sebagaimana syarat-syarat di atas) yang pada waktu pagi hari berpuasa diperbolehkan berbuka membatalkan puasanya. Sementara itu, seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat dilarang berbuka (tidak berpuasa).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya