Liputan6.com, Cilacap - Perihal hukum boleh tidaknya berhubungan intim atau menjima istri yang telah selesai haid, tetapi belum melakukan mandi besar terjadi perbedaan pendapat di kalangan para imam mazhab.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Perbedaan ini dilatarbelakangi perbedaan penafsiran tentang makna “suci” dalam surat Al Baqarah ayat 222:
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka (istri-istri) telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222).
Melansir NU Online, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud “suci” dalam ayat di atas adalah berhentinya darah haid atau menstruasi.
Artinya, jika darah menstruasi telah berhenti maka diperbolehkan melakukan berhubungan badan atau hubungan seksual, sekalipun sang istri belum mandi besar.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pendapat yang Membolehkan Berhubungan Intim Tanpa Mandi Besar
Imam Abu Hanifah memaknai kata “Yathurna” dan “Tatahharna” pada ayat di atas dengan “berhentinya darah menstruasi”. Dengan demikian, larangan menyetubuhi istri hanya sampai batas waktu berhentinya darah menstruasi. Setelah darah berhenti, maka diperbolehkan menyetubuhinya.
Meskipun demikian, Abu Hanifah mensyaratkan durasi waktu haid telah mencapai 10 hari atau lebih. Jika belum mencapai 10 hari atau lebih tetapi darahnya berhenti atau tidak keluar lagi, maka tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri sebelum terlebih dahulu mandi besar.
Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 553 menulis demikian:
وأجاز أبو حنيفة إتيان المرأة إذا انقطع دم الحيض، ولو لم تغتسل بالماء إلا أنه إذا انقطع دمها بعد أكثر الحيض (عشرة أيام) حلت حينئذ، وإن انقطع دمها لأقل من عشرة أيام، لم تحل حتى يمضي وقت صلاة كامل أو تغتسل
“Abu Hanifah membolehkan hubungan badan dengan istri bila darah haidhnya telah selesai meskipun ia belum mandi wajib. Tetapi, jika darah haidh itu berhenti setelah masa haid (10 hari), maka (ia) halal ketika itu. Jika darah itu berhenti persis kurang dari 10 hari, maka ia belum halal hingga waktu shalat sempurna berlalu atau ia mandi wajib,”
Advertisement
Pendapat yang Tidak Membolehkan Berhubungan Intim Sebelum Mandi Besar
Adapun pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal menyebutkan, makna suci adalah bersuci dengan air atau mandi besar.
Artinya, agar diperbolehkan melakukan hubungan seksual, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu: berhentinya darah dan sudah mandi besar. Mereka memahami kata “Yathurna” dan “Tatahharna” pada ayat tersebut hanya dapat dilakukan setelah melakukan “mandi besar”.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh
ولم يجز الجمهور غير أبي حنيفة إتيانها حتى ينقطع الحيض، وتغتسل بالماء غسل الجنابة
“Mayoritas ulama selain Abu Hanifah, tidak membolehkan hubungan badan seseorang dengan istrinya hingga darah haidh itu benar-benar berhenti dan istrinya mandi wajib terlebih dahulu,”
Dengan demikian, berdasarkan pendapat mayoritas ulama melarang menyetubuhi istri yang telah selesai haid akan tetapi belum melakukan mandi besar.
Penulis: Khazim Mahrur