Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) menargetkan nilai transaksi di Sistem Penyelenggara Pasar Alternatif (SPPA) mencapai minimal Rp 200 triliun pada tahun 2025. Target ini mencakup transaksi repurchase agreement (repo) dan fixed income cash outright.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 1 BEI, Firza Rizqi Putra, menyampaikan, transaksi cash outright tahun lalu mencapai Rp 246 triliun, sementara transaksi repo belum ada. "Oleh karena itu, tahun ini BEI berharap kombinasi transaksi cash outright dan repo dapat mencapai minimal Rp 200 triliun di SPPA," kata Fira dalam konferensi pers, Senin (10/3/2025).
Advertisement
Baca Juga
Firza juga mengungkapkan bahwa sejak awal tahun hingga Februari 2025, total transaksi di SPPA telah mencapai Rp 48 triliun, dengan rata-rata transaksi harian sebesar Rp 1,5 triliun. "Pada setengah hari pertama peluncuran fitur repo, sudah terjadi 12 transaksi dengan nilai hampir Rp 1 triliun atau sekitar Rp 990 miliar. Ini tentu sesuatu yang membesarkan hati dan memberikan optimisme bahwa fitur ini akan dimanfaatkan oleh para pengguna jasa ke depannya," kata dia.
Advertisement
Saat ini, terdapat 39 pengguna jasa SPPA yang sudah dapat memanfaatkan fitur repo. "Jika melihat potensi ke depan, tentu sangat besar. Saat ini market share dari SPTA adalah 16%, yang artinya ruang pertumbuhannya masih sangat luas," ungkapnya.
Dengan berbagai langkah strategis yang dilakukan, BEI berharap fitur repo dapat berkontribusi dalam memperkuat ekosistem pasar keuangan dan mendorong pertumbuhan transaksi yang lebih masif di tahun-tahun mendatang.
Dorong Efisiensi Pasar Surat Utang, BEI Resmi Luncurkan Transaksi Repo di SPPA
Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi meluncurkan transaksi Repurchase Agreement (Repo) dalam Sistem Penyelenggara Pasar Alternatif (SPPA). Langkah ini menjadi bagian dari upaya BEI untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan likuiditas perdagangan surat utang serta pasar uang di Indonesia.
"Menurut kami, ini merupakan momen yang sangat tepat di mana SPPA memiliki market share yang cukup besar, yaitu 16%, dan semakin banyak pengguna jasa baik dari perbankan, Bank Pembangunan Daerah (BPD), maupun sekuritas yang memanfaatkan SPPA," kata Firza.
Selain itu, ia menambahkan bahwa fitur repo sejalan dengan fokus Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia dalam mendukung pendanaan berbasis agunan (collateral funding). "Tahun lalu, sekitar Rp 12 ribu triliun transaksi terjadi di OTC baik fixed income maupun repo, dengan porsi masing-masing 50% di cash outright dan repo. Artinya, ada sekitar Rp 6 ribu triliun yang bisa kita akuisisi market share-nya, dan kami rasa ini merupakan momen yang tepat untuk mengembangkan SPPA dengan fitur repo ini," jelasnya.
Berbeda dengan transaksi outright, Repo merupakan transaksi berbentuk kontrak jual atau beli efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah disepakati. Saat ini, jenis transaksi Repo yang dapat dilakukan di SPPA adalah Repo dengan underlying surat utang negara (SUN).
Advertisement
Transaksi yang Tersedia
Menurut Jeffrey, implementasi transaksi Repo di SPPA mencakup berbagai fitur utama yang meningkatkan efisiensi perdagangan. Jenis transaksi yang tersedia adalah Repo klasik atau standar dengan menggunakan surat utang negara sebagai jaminan dalam sistem single collateral. Untuk penentuan haircut, SPPA mengacu pada standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Sementara itu, harga pembelian dalam transaksi Repo merujuk pada referensi yang diberikan oleh PHEI (Indonesia Bond Pricing Agency). Dalam hal perhitungan, sistem ini mengikuti metode yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun standar internasional yang digunakan secara global, seperti ICMP.
