Kisah Ahli Maksiat yang Jenazahnya Disholatkan Wali Allah

Dalam kitab Ihya Ulumuddin,Imam Al-Ghazali mengisahkan seorang laki-laki ahli maksiat di Kota Bashrah. Lelaki itu dikenal sebagai sampah masyarakat yang kesehariannya mabuk dan sering ke tempat hiburan.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 07 Mei 2023, 12:30 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2023, 12:30 WIB
Ilustrasi miras oplosan (Istimewa)
Ilustrasi miras oplosan (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengisahkan seorang laki-laki ahli maksiat di Kota Bashrah. Lelaki itu dikenal sebagai sampah masyarakat yang kesehariannya mabuk dan sering ke tempat hiburan.

Suatu ketika lelaki itu meninggal dunia. Tidak ada satu pun anggota masyarakat yang berkenan membantu mengurusi jenazahnya. Untuk memikul keranda jenazah ke musala pun istri almarhum harus membayar dua orang.

Berharap ada yang ingin mensholatkan, namun istri almarhum tidak menemukan satu pun jemaah musala yang berkenan mensholatkan jenazah suaminya. Ia kemudian memutuskan melanjutkan prosesi pengurusan jenazah berikutnya.

Istri almarhum membawa suaminya ke padang pasir terbuka untuk dimakamkan. Tak disangka ia mendapati seseorang yang sudah lama menunggu jenazah suaminya. 

Rupanya seseorang itu adalah orang zuhud yang uzlah di sebuah bukit di tepi kota. Orang yang dikenal kewaliannya oleh kalangan penduduk itu hendak mensholatkan jenazah yang selama di dunianya ahli maksiat.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Takjub dan Heran

Kabar tentang wali Allah yang mensholatkan jenazah pemabuk itu tersiar hingga masyarakat Bashrah. Mereka terheran-heran sebab tidak ada satu pun yang simpati untuk mengurusi jenazah ahli maksiat itu. Ia lantas bertanya-tanya kepada wali Allah itu.

“Dalam mimpi aku mendengar suara langit, ‘Turunlah, temui jenazah fulan. Kamu akan melihat jenazah yang tidak diiringi siapapun kecuali istrinya. Shalatkanlah jenazahnya karena sungguh ia telah diampun,” kata ulama kharismatik itu.

Jawaban wali Allah itu membuat masyarakat takjub, meskipun masih ada rasa heran. Sementara, sang wali juga belum mengetahui persis alasan almarhum yang semasa hidupnya dikenal pemabuk itu diampuni.

Wali Allah itu kemudian bertanya-tanya ke istri almarhum. Sementara, masyarakat menyimak jawaban istri almarhum.

“Coba kamu perhatikan, kebaikan kecil apa yang pernah dilakukan almarhum suamimu?” tanyanya.

“Baik, ada tiga hal yang kuingat,” jawab istri almarhum. 

3 Kebaikan yang Menyelamatkan

Pertama, setiap kali sadar dari mabuknya waktu Subuh almarhum suaminya segera mengganti pakaian, berwudhu, lalu bergegas menuju masjid untuk shalat Subuh berjemaah. Setelah itu, almarhum kembali ke tempat hiburan langganannya dan tenggelam dalam dosa. 

Kedua, rumah almarhum tidak pernah sepi dari satu atau dua anak yatim yang disantuni. Bahkan tidak jarang kebaikan almarhum terhadap anak-anak yatim tersebut melebihi kebaikannya terhadap anaknya sendiri. 

Ketiga, tidak jarang almarhum suaminya sadar di tengah mabuknya pada gelap malam, lalu menangis dengan penyesalan dan bermunajat, “Wahai Tuhan pemilik sudut-sudut neraka Jahanam. Apakah Engkau akan memenuhi sudut-sudut Jahanam itu dengan raga yang hina ini (maksudnya dirinya).” 

Mendengar keterangan istri almarhum, wali Allah itu berpaling menunggu pemakaman selesai sebelum kembali ke atas bukit di tepi Kota Bashrah. Keterangan istri almarhum menghilangkan keheranan yang sebelumnya hinggap pada dirinya dan masyarakat Kota Bashrah.

Kisah tersebut terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali yang dikutip dari NU Online.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya