Pengungsi Afghanistan di Kabul Sulit Makan Selama Ramadan Lantaran Krisis Ekonomi

Selama bulan Ramadan, pengungsi Afghanistan mengalami sejumlah kesulitan. Salah satunya kelaparan.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 28 Mar 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2024, 20:00 WIB
Pengungsi Afghanistan Dipaksa Tinggalkan Pakistan
Para pengungsi Afghanistan menunggu dalam antrean untuk menyeberangi perbatasan Pakistan-Afghanistan di Torkham pada 27 Oktober 2023. (Abdul MAJEED/AFP)

Liputan6.com, Kabul - Ketika umat Islam di berbagai belahan dunia merayakan bulan suci Ramadan dengan berbagai dekorasi dan penganan khas, banyak warga muslim di Afghanistan yang justru kesulitan mencari sesuap nasi.Saat magrib tiba pada hari keenam bulan Ramadan lalu, Mozlifa dan anak-anaknya berbuka puasa dengan roti, kentang dan telur. Mereka sekeluarga tinggal di dekat ibu kota Afghanistan.

Beberapa jam sebelumnya, sebelum matahari terbenam, Mozlifa menyiapkan makanan untuk kedelapan anaknya dengan menggunakan plastik dan kertas untuk menyalakan api, karena keluarga itu tidak mampu membeli kompor gas.

Keluarganya adalah satu dari 80 keluarga yang tinggal di kamp Butkhak, di dekat Kabul, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (28/3/2024).

Mereka mengungsi dari rumah mereka di Provinsi Nangarhar karena menghadapi kekeringan dan masalah keamanan.

Sebagian besar keluarga yang tinggal di kamp itu berbuka puasa hanya dengan makanan sederhana, karena kesulitan mengatasi krisis ekonomi di bawah pemerintahan Taliban.

Mozlifa menuturkan, “Saya punya delapan anak yang masih kecil. Suami saya sudah meninggal. Saya minta pemerintah menolong kami. Kami tidak punya cukup makanan atau kebutuhan pokok lainnya. Kami diliputi banyak masalah; kami tidak punya apa-apa.”

Jumlah pengungsi melonjak tajam sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada 2021.

Putra sulung Mozlifa, Mohammad Naeem, mengaku menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal.

“Ada sembilan anggota keluarga kami. Ayah kami sudah meninggal. Saya punya enam saudara perempuan dan satu saudara laki-laki. Saya jadi pemulung kain bekas dan diupah 100 Afghani (sekitar Rp21.000) per hari. Saya juga mengumpulkan plastik. Dari upah yang saya dapat, saya belikan makanan untuk delapan orang keluarga saya yang lain. Saya anak tertua dan satu-satunya tulang punggung keluarga kami,” sebutnya.

Bantuan dari Berbagai Lembaga Bantuan

Truk Pengungsi Afghanistan saat Tinggalkan Pakistan
Sekitar 1,7 juta penduduk ilegal di ultimatum untuk segera keluar dari Pakistan atau menghadapi penangkapan dan deportasi. (Abdul MAJEED/AFP)

Salamat Khan, adik Naeem, juga bertugas mencari kertas untuk membuat api. “Saya berangkat dari rumah pagi-pagi dan pulang di siang hari. Saya membawa sekantong kertas dan dengan cara inilah kami bertahan hidup,” komentarnya.

Berbagai lembaga bantuan telah menyediakan makanan, pendidikan dan bantuan layanan kesehatan kepada warga Afghanistan. Akan tetapi, pendistribusian bantuan tersebut sangat terdampak oleh kebijakan Taliban yang melarang perempuan bekerja untuk organisasi nirlaba internasional.

Perekonomian Afghanistan pun terseok-seok dan hampir ambruk.

Meskipun pasar-pasar di sana sebagian besarnya dipenuhi berbagai pasokan, tidak banyak orang yang mampu berbelanja makanan untuk keluarga mereka.

Infografis Kejatuhan dan Kebangkitan Taliban di Afghanistan. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Kejatuhan dan Kebangkitan Taliban di Afghanistan. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya