Liputan6.com, Cilacap - Dalam Islam percaya pada perkara yang gaib, ini termasuk iman kepada Allah, para Malaikat, dan hal yang gaib lainnya, seperti Jin.
Pendakwah Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat (UAH) menegaskan bahwa menengok pada makna asal katanya, Jin itu berarti yang tersembunyi alias tidak tampak oleh mata.
Mubaligh lulusan Kulliyah Dakwah Islamiyah Tripoli, Libya ini menegaskan bahwa lawan dari yang tidak tampak ialah Ins, artinya yang tampak yakni manusia.
Advertisement
Baca Juga
Jin disebut Jin karena tersembunyi nggak nampak, lawannya ins, nampak,” terang UAH dikutip dari tayangan YouTube Short @BSLO, Rabu (26/03/2025).
Sebab fitrah yang demikian, maka jika Jin menampakkan diri itu artinya ia sedang dalam masalah. Berkaitan dengan hal ini UAH membeberkan beberapa hal.
Simak Video Pilihan Ini:
Alasannya
Sebelumnya UAH menjelaskan bahwa fitrahnya Jin ialah tidak tampak. UAH menegaskan bahwa jika ada seseorang mengaku melihat Jin maka sejatinya orang tersebut sedang kemasukan Jin.
"Karena itu Jin fitrahnya nggak nampak, nggak bisa ada yang lihat jin ingat ini ya," ujarnya.
"Kalau ada yang mengatakan, saya bisa melihat jin hanya jin yang mampu melihat jin, maka orang itu sedang kemasukan jin, ingat itu!" sambungnya.
Lebih dalam UAH juga menjelaskan bahwa sebagai makhluk yang secara fitrah tersembunyi, maka jika ia menampakkan dirinya, maka ia sedang dalam masalah sebab keluar dari fitrahnya.
"Maka sifat jin itu nggak bisa dilihat oleh manusia tersembunyi. Makanya kalau ada jin melakukan penampakan itu jin sedang pegang punya masalah, karena keluar dari fitrah," tegasnya.
Advertisement
Penjelasan tentang Jin
Mengutip NU Online, tentang makhluk bernama Jin, Quraish Shihab dalam Jin dalam Al-Qur’an (2013) menjelaskan bahwa jin secara harfiah bermakna sesuatu yang tersembunyi. Makna tersebut menunjukkan bahwa jin merupakan makhluk halus. Sifat halusnya jin bisa menyerupai manusia secara fisik, namun manusia sendiri tidak bisa melihat jin secara kasat mata kecuali orang tersebut mempunyai kemuliaan dan keistimewaan (karomah). Salah satu dasar pokok keimanan seorang Muslim ialah percaya pada hal-hal ghaib. Sesuatu yang ghaib ini merujuk pada sesuatu yang tidak terjangkau oleh pancaindera, baik disebabkan oleh kurangnya kemampuan maupun oleh sebab-sebab lainnya.
Banyak hal ghaib bagi manusia serta beragam pula tingkat keghaibannya. Pertama, ada ghaib mutlak yang tidak dapat terungkap sama sekali karena hanya Allah yang mengetahuinya, contoh kematian. Kedua, ghaib relatif, sesuatu yang tidak diketahui seseorang tetapi bisa diketahui oleh orang lain, contoh ilmu pengetahuan, makhluk halus, dan lain-lain. (Quraish Shihab, 2013) Istilah jinn dalam Al-Qur’an berarti yang tersembunyi dan tertutup. Quraish Shihab mengungkapkan sejumlah akar kata yang sama, di antaranya majnun (manusia yang tertutup akalnya), janin (bayi yang masih dalam kandungan, karena ketertutupannya oleh perut ibu), al-junnah (perisai, karena ia menutupi seseorang dari gangguan), junnah (orang munafik menjadikan sumpah untuk menutupi kesalahan dan menghindar dari kecaman dan sanksi), janan (kalbu manusia, karena ia dan isi hati tertutup dari pandangan serta pengetahuan).
Di lihat dari perspektif linguistik atau kebahasaan, bisa dipahami bahwa jin merupakan makhluk halus yang tersembunyi, karena tertutup. Tersembunyi dan tertutup ini bukan berarti sama sekali tidak terlihat karena ghaibnya relatif, sebagian orang bisa melihat jin karena keistimewaan yang dimilikinya, biasanya manusia yang dekat dengan Allah karena akhlak dan ilmunya. Soal kontroversi ada atau tidak adanya jin, Quraish Shihab mengungkapkan pendapat Ibnu Sina (980-1037 M) dalam risalahnya menyangkut Definisi Berbagai Hal, menyebutkan bahwa jin adalah binatang yang bersifat hawa yang dapat mewujud dalam berbagai bentuk.
Pendapat Ibnu Sina tersebut diterjemahkan oleh Fakhruddin Ar-Razi bahwa definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Sina hanyalah penjelasan tentang arti kata jinn. Sedangkan jin itu sendiri tidak memiliki eksistensi di dunia nyata. Para filsuf penganut pendapat di atas berdalih bahwa jika jin memang ada wujudnya, ia tentu mengambil bentuk makhluk halus atau kasar. Quraish Shihab mencatat, ketika seseorang menyatakan bahwa jin adalah makhluk halus, maka kehalusan yang dimaksud tidak harus dipahami dalam arti hakikatnya demikian, tetapi penamaan itu ditinjau dari segi ketidakmampuan manusia untuk melihatnya.
Jika demikian, bisa jadi jin merupakan makhluk kasar. Tetapi karena keterbatasan mata manusia, maka ia tidak terlihat, jadi bahasa manusia menamakannya sebagai makhluk halus. Pandangan kedua ialah, pakar-pakar Islam yang justru sangat rasional tidak mengingkari bahwa ayat-ayat Al-Qur’an berbicara tentang jin, tetapi mereka memahaminya tidak dalam pengertian hakiki. Paling tidak, ada tiga pendapat yang menonjol dari kalangan ini menyangkut hakikat jin.
Pertama, memahami jin sebagai potensi negatif manusia. Karena menurut pandangan ini yang membawa manusia pada hal-hal positif ialah malaikat, sedangkan jin dan setan sebaliknya. Pandangan ini juga menilai bahwa jin tidak memiliki wujud. Kedua, memahami jin sebagai virus dan kuman-kuman penyakit. Namun pandangan ini mengakui eksistensi jin. Ketiga, memahami jin sebagai jenis makhluk manusia liar yang belum berperadaban. Dari ketiga pandangan tersebut, sekilas bisa dipahami bahwa jin merupakan makhluk yang mewujud pada sesuatu. Namun, keberadaan jin sendiri diterangkan dalam Al-Qur’an bahwa, “Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56) Karena diciptakan, tentu wujudnya ada. Perbedaannya ialah, manusia diciptakan dari unsur tanah, sedangkan jin diciptakan dari api. Menurut Quraish Shihab, iblis dalam Al-Qur’an diterangkan dari jenis jin. Namun demikian, iblis maupun setan mempunyai karakteristik tersendiri sehingga tidak semua makhluk jin adalah iblis atau setan.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
