Liputan6.com, Jakarta - Di tengah kekhusyukan para peziarah yang datang ke makam Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ada kisah unik yang membuat jamaah tak bisa menahan senyum. Kisah ini bukan sekadar cerita, melainkan pelajaran dari seorang wali majdzub yang doanya terdengar tak biasa, bahkan terkesan ‘kacau’.
Wali tersebut dikenal sebagai seorang yang dekat dengan Allah, tetapi gaya doanya jauh dari kata konvensional. Ia datang ke makam Rasulullah dengan ucapan penuh kepasrahan. Bukan dengan bahasa pujian panjang, melainkan doa yang mencengangkan.
Advertisement
“Ya Allah, sekarang terserah Engkau,” begitu awalnya. Doa tersebut menjadi pembuka dari untaian kata yang membuat banyak orang yang mendengarnya tersentak sekaligus tertawa kecil.
Advertisement
Wali itu melanjutkan doanya, “Jika Engkau menjadikan saya orang saleh, maka kekasih-Mu ini senang dan yang susah adalah musuh-Mu, yaitu setan. Tapi kalau Engkau menjadikan saya orang fasik, maka yang susah kekasih-Mu dan yang senang adalah musuh-Mu.”
Kisah ini disampaikan oleh KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dalam salah satu pengajiannya. Gus Baha dikenal sebagai ulama ahli tafsir asal Rembang yang merupakan murid dari KH Maimoen Zubair.
Dalam penjelasannya, Gus Baha menekankan bahwa doa itu memang terdengar aneh, tapi tidak bisa dibantah. “Itu masyhur, dan itu ijazah,” ujar Gus Baha kepada jamaahnya, seperti dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @khairazzaadittaqwa.
Gus Baha menyebut bahwa doa tersebut bukan untuk ditiru oleh sembarang orang. “Kalau belum sampai derajat wali, jangan berani-berani meniru,” ungkapnya sambil tersenyum.
Baca Juga
Bolehkah Sholat Pakai Jersi Manchester United Berlambang Setan Merah? Ini Jawaban UAS dan Syafiq Riza Basalamah
Viral! Gus Iqdam Roasting Wakil Bupati Cantik, "Mambengi Nyanyi Sekop-Sekop, Saiki Jadi Mbak-Mbak Yali-Yali"
Film Jumbo Dituding Tak Ramah Akidah, Fantasi Anak atau Pelanggaran Prinsip Agama?
Simak Video Pilihan Ini:
Doa Tak Biasa
Bagi kalangan awam, gaya doa seperti itu memang sulit diterima. Tapi dalam khazanah tasawuf, doa seorang wali majdzub bisa menggambarkan tingkat kebergantungan dan totalitas tawakal kepada Allah.
Menurut Gus Baha, doa itu memang seperti ‘teror ilahi’, seolah menantang Allah agar menetapkan posisi manusia secara ekstrem. Tapi di balik itu, tersimpan makna dalam soal tauhid dan kejujuran spiritual.
“Doanya memang tidak biasa, tapi itu jujur. Ia tahu posisinya sebagai hamba dan menyerahkan semuanya kepada Allah dengan cara yang unik,” ujar Gus Baha.
Sebagian jamaah yang hadir saat pengajian terlihat tertawa ketika mendengar kisah itu. Namun mereka juga merenung, karena di balik tawa, tersimpan pesan spiritual yang mendalam.
Gus Baha tidak berhenti di situ. Ia memberikan penekanan bahwa meskipun terdengar lucu, doa itu tidak mengurangi nilai penghambaan. Bahkan bisa menjadi pelajaran penting soal kepasrahan total.
Ia mencontohkan, banyak orang yang berdoa dengan kalimat indah, tapi hatinya masih menggantungkan harapan pada selain Allah. Berbeda dengan wali tersebut, yang sepenuhnya menyerah pada keputusan Sang Pencipta.
Doa sang wali mengajarkan bahwa manusia tidak bisa menuntut Allah, tapi hanya bisa menyerahkan diri sepenuhnya. Dalam kepasrahan itu, ada kebebasan yang luar biasa dalam batin seorang hamba.
Advertisement
Belum Wali Jangan Tiru
Gus Baha juga menyampaikan bahwa tidak semua orang bisa paham gaya spiritual seperti ini. Karena itu, penting memahami konteks dan maqam (tingkatan spiritual) dari si pelaku doa.
“Kalau kamu belum wali, jangan tiru. Kalau kamu tiru tapi belum sampai derajatnya, itu bukan tawakal, tapi ngawur,” ujar Gus Baha disambut gelak tawa jamaah.
Menurutnya, dunia tasawuf memang penuh warna. Ada wali yang doanya tertib dan lembut, tapi ada juga yang penuh kejutan. Semuanya menunjukkan luasnya rahmat Allah dalam menerima penghambaan.
Di akhir kisah, Gus Baha menutup dengan gurauan, “Kalau tertarik boleh doa itu dipraktikkan, tapi kayaknya kalau copy-paste itu nggak keren,” ujarnya sambil tertawa renyah.
Doa yang terdengar ‘kacau’ itu nyatanya tidak memperlihatkan kekacauan akidah. Justru ia menyingkapkan ketulusan iman dan keberanian spiritual yang tidak semua orang sanggup memikulnya.
Sebagaimana banyak kisah wali Allah, pesan dari kisah ini bukan semata pada redaksi doanya, tetapi pada ketulusan niat dan pemahaman maqam yang mendasarinya.
Dan pada akhirnya, seperti pesan Gus Baha, “Tawakal itu bukan soal kata, tapi soal posisi hati.”
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
