Jajanan Pasar Semar Mendem dan Lemper Ternyata Kaya Pesan Moral

Kue semar mendem dan lemper merupakan jajan pasar yang terbuat dari beras ketan dan diisi suwiran ayam atau abon.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Mar 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2022, 12:00 WIB
semar mendem
Ilustrasi semar mendem./Copyright shutterstock.com/g/p3nnylan3

Liputan6.com, Surabaya - Kue semar mendem dan lemper merupakan jajan pasar yang terbuat dari beras ketan dan diisi suwiran ayam atau abon. Sekilas, jajan pasar semar mendem hampir mirip dengan lemper. Bedanya, semar mendem menggunakan adonan tepung untuk membungkusnya dan lemper menggunakan daun pisang.

Hingga sekarang kedua kue basah ini masih dapat dengan mudah ditemukan di bagian jajanan pasar. Dikutip dari berbagai sumber, semar mendem dan lemper ternyata memiliki filosofi yang luar biasa.

Penamaan semar mendem artinya semar sedang mabuk. Jajan pasar yang satu ini memang diambil dari salah satu tokoh wayang Semar, yang merupakan anggota Punakawan.

Secara visiual kue semar mendem memang mirip seperti Semar yang digambarkan memiliki badan yang berisi. Konon ketika dimakan kue semar mendem dapat menyebabkan “mabuk” alias tidak akan bisa berhenti mengunyah. Sehingga kata mendem ini juga diartikan seperti ketagihan jika menyantap kudapan semar mendem.

Konon penamaan jajanan pasar ini juga terinspirasi dari kebiasaan makan Semar, yang suka makan hingga kekeyangan. Bukan hanya itu, Semar juga menjadi simbol kekuasaan.

Pada intinya, Semar si pemegang kekuasaan tidak diperbolehkan mendem alias mabuk kekuasaan. Jabatan yang dipegang Semar haruslah disalurkan pada kebaikan dan mengayomi rakyat.

Sedangkan kue lemper juga tak kalah bermakna dari semar mendem. Tekstur lemper yang lengket memiliki makna persaudaraan atau bersatu.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lemper

Selain itu, masyarakat juga percaya bahwa tekstur lemper yang sangat lengket akan mendatangkan rezeki bagi siapa pun yang memakannya.

Ada pula versi lain yang mengatakan lemper diambil dari bahasa Jawa, yakni “yen dilem atimu ojo memper” yang meminta kita untuk tidak segera tinggi hati ketika baru mendapat pujian. Pada zaman dahulu leluhur memberikan, lewat lengketnya lemper yang dimaknai cerminan dari rasa persaudaraan antara sesama manusia.

Tak hanya itu bahan utama pembuat lemper yakni beras ketan, memang sengaja dipilih karena memiliki makna tersendiri. Ketan bisa juga dipanjangkan namanya menjadi “Ngraketaken paseduluran”, yang berarti merekatkan persaudaraan.

Sedangkan kehadiran dua tusuk bambunya merupakan simbol dari rukun Islam serta rukun iman. Daun pisang yang digunakan sebagai pembungkus juga memiliki arti, yaitu lambang hal yang tidak baik atau sifat buruk. Ini merupakan sebuah cerminan, ketika seseorang ingin memperoleh kemuliaan dalam hidup, harus senantiasa membersihkan diri dan membuang hal yang tidak baik.

Bukan hanya sekadar jajanan, masyarakat Wonokromo, Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta juga menyajikan lemper ini sebagai sajian utama dalam tradisi Rebo Pungkasan. Dalam upacara tersebut, lemper raksasa menjadi sajian utama di samping gunungan hasil bumi, serta prajurit Keraton Yogyakarta.

Dalam tradisi ini menyampaikan empat pesan, yaitu sebagai sarana manusia untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan, meminta berkah dan keselamatan, memohon agar diberikan rezeki yang melimpah, dan terhindar dari segala marabahaya, serta sebagai wujud penghormatan bagi para leluhur.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya