Cerpen: Menunggu Mentari Jatuh di Tepi Progo

Berikut cerpen pilihan Liputan6.com, Sabtu (21/5/2016), "Menunggu Mentari Jatuh di tepi Progo", karya Edhie Prayitno Ige.

oleh Liputan6 diperbarui 21 Mei 2016, 09:00 WIB
Diterbitkan 21 Mei 2016, 09:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi cerpen "Menunggu Mentari Jatuh di Tepi Progo"

Liputan6.com, Jakarta Aku pulang ke rumah ketika ibu meninggal. Sampai tujuh hari aku berada di rumah ini. Rumah dimana saat ini riuh knalpot mampu menghalau kicau prenjak dan tekukur. Rumah dimana saat kecil aku bisa menonton lelehan lava pijar puncak Merapi yang menggelinding ke bawah, namun kini sudah tertutup gedung tinggi.

Aku tak peduli dengan hilangnya gemericik air selokan yang jernih seperti air sumur. Selokan dengan dua batu pipih seukuran bata yang berjajar, tempat aku dan anak-anak kampung biasa melepas hajat sambil bermain.

Semua sudah berubah. Semua yang terlihat sudah sangat berubah. Gunung Sari, sebuah bukit di belakang rumah tempat kami mencari tanah liat untuk membuat kerajinan tangan saat SD sekarang sudah dibangun jalan setapak, bersamaan dengan ditemukannya sebuah candi Buddha di puncaknya. Penggalian candi itu sendiri akhirnya berhenti, tanpa tahu penyebabnya.

Aku meninggalkan kampung ini sudah 26 tahun. Aku meninggalkan kampung ini, membawa kenangan tentang seorang perempuan kampung. Perempuan dengan tatapan teduh yang senantiasa membuatku enggan meninggalkan kampung ini.

Sore ini, aku lihat layar gadgetku. Jam digital menunjukkan angka 15.34. Pelan kakiku melangkah, menyusuri pematang di belakang rumah. Hmm...aku hanya ingin merasakan sensasi berjalan di rerumputan liar tanpa alas kaki, dengan sesekali terserimpet duru-duri dari pohon putri malu, atau ri mbembret. Perdu berduri yang hanya aku temukan di kampung ini.

"Arep nengndi mas? Kapan mulih?" sebuah suara datang dari sesela pohon singkong.

"Nggih pakdhe. Namung pengin sumerep srengenge sonten," jawabku.

Olala...boleh saja semua berubah. Namun tidak untuk sesuatu yang hidup. Keakraban itu, ya keakraban antar aku dalam kami penghuni kampungku masih terjaga.

Melihat matahari senja, memang sebuah kesenangan buatku. Entah sejak kapan tepatnya. Selain pemandangan yang indah, ada dua hal lagi yang menjadi alasanku. Suasana temaram dan melihat proses hiruk pikuk menjadi sepi. Mungkin ini konyol atau bukan hal penting bagi sebagian orang. Namun melihat warna jingga di langit, menyaksikan perpisahan manusia dan kesibukannya, menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Bukankah setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menyenangkan dirinya sendiri?

***

Pernah suatu ketika, aku sendirian menikmati senja di Sungai Progo. Sebuah sungai yang menjadi penanda batas administratif Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kampungku ini memang luar biasa, selain dikepung oleh gunung, Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro dan juga Menoreh, juga dikitari sungai Progo yang melingkar-lingkar. Di tepi Progo inilah aku dan Kinasih pernah bersama menikmati senja.

Sore itu, mobilku berjalan pelan. Menyusuri tepian sungai Progo. Mulai dari Candi Mendut, sebuah candi budha namun memiliki arca Dewi Tara yang merupakan salah satu dewi dalam agama Hindu, mobilku menuju ke Candi Pawon. Candi Pawon inilah yang dianggap sebagai candi penyangga atau dapur (pawon) dari candi Borobudur.

Sesampai di desa Tingal, Borobudur, desa asal almarhum Boediharjo, seorang seniman, diplomat, penulis, tentara, menteri dan sederet sebutan lain, mobilku membelok ke arah kiri. Menyusuri jalanan kampung Candiroto dan kampung lain. Inilah tepian sungai Progo yang arusnya senantiasa deras di dalam, namun tenang di permukaan.

Tenang di permukaan? Hmm...ungkapan itu lebih tepat disematkan pada Kinasih. Baru beberapa hari aku berpisah dengannya, masih sangat wajar jika ingatanku tentangnya masih melekat, menggeser semua memori tentang perjalananku selama ini. Seakan-akan hanya dia satu-satunya pesona Sungai Progo yang tertangkap mata.

Angin Sungai Progo bertiup semilir. Langit sudah gelap saat aku tiba di Ancol, sebuah tempat di tepi Progo. Dengan langkah terseok-seok aku turun dari mobil, memotret beberapa titik bantaran sungai yang menjadi tempat wisata warga Ngluwar, Magelang dan Kalibawang, Kulonprogo ini.

Di tempat ini aku berkenalan dengan Kinasih. Saat itu kedua tangan Kinasih mencengkeram plastik berisi sejumlah jajanan. Ada gebleg, sebuah jajanan khas Kulonprogo dan Purworejo yang dibuat dari tepung Kanji. Ada pula tempe benguk bacem.

Yang dimaksud Benguk adalah kara benguk atau kacang babi (Mucuna pruriens). Itu adalah tumbuhan merambat dengan tinggi mencapai 6 meter. Daun dan polongnya yang masih muda dapat dimakan asal direbus terlebih dahulu. Bijinya yang sudah tua, bisa untuk pengganti kacang kedelai untuk membuat tempe.

Meski tak berat, aku coba untuk membantunya. Karena saat itu Kinasih tengah mencoba membelah hiruk-pikuk puluhan orang yang melangkah cepat mendahuluinya.

"Boleh saya bantu?" tanyaku tangan terulur. Ketika itu Kinasih sedang kerepotan mencari uang koin setelah meletakkan belanjaan di lantai.

"Oh, terima kasih. Tapi saya bisa bawa sendiri," jawabnya dengan ramah sambil tangannya mencari sesuatu di dompet.

"Mau ke mana?"

"Pulang. Rumah saya di daerah Boro," kata Kinasih sambil menyiapkan selembar pecahan lima ribuan.

"Tunggu di sini. Biar mobil saya yang saya bawa sini," kataku. Kinasih terlihat bingung mengawasi langkahku yang buru-buru membawa dua kantong plastiknya ke mobilku.

Setiba di dekatnya, aku buka pintu untuk Kinasih. Bulir-bulir peluh di dahinya menambah eksotis wajahnya yang berkulit gelap. Rambutnya yang agak ikal dengan gaya bersisir dibelah pinggir, menambah eksotisme ayu model kampung.

"Maaf, saya…" kata Kinasih saat itu.

"Saya juga mau ke Boro. Nama saya Samiran. Biar saya bantu. Sendirian kan?" kataku memotong.

Saat itu tak terlintas sedikitpun perasaan takut, perasaan kasihan, apalagi perasaan suka. Semua berjalan wajar dan biasa.

"Jangan...yang itu berat," katanya setengah berteriak saat aku mengangkat sebuah travelling bag.

"Tenang saja. Saya kan laki-laki. Perempuan tak boleh membawa beban berat selama ada laki-laki," kataku pasti.

Terkadang mencuri hati seseorang memang bisa semudah memasak mi instan. Ada hati yang mungkin sulit ditaklukkan dengan berbagai pujian, tapi malah luluh hanya dengan ucapan atau perhatian sederhana; seperti jangan pulang terlalu malam, beri aku kabar jika kamu sudah sampai di rumah, atau di luar mendung, jangan lupa bawa payung.

"Terima kasih. Nama saya Kinasih," katanya akhirnya memperkenalkan diri. Aku terhenyak.

"Ada apa?" tanyanya.

"Nggak. Nggak ada apa-apa. Banyakkah orang bernama Kinasih di daerah sini?" tanyaku.

"Nggak tahu. Tapi wajar kalau ada dua orang atau lebih bernama sama," ia menjawab wajar.

Mendengar suaranya, kuteliti wajah itu. Sebuah tahi lalat di pipi sebelah kiri dekat hidung menambah eksotis wajah perempuan kampung ini. Nama dan tahi lalat itu akhirnya membawaku ke sesosok perempuan lain.

Mungkin aku terlalu percaya diri, Kinasih kemudian terasa memperhatikan aku. Mengambilkan tisu saat melihat peluh menetes di keningku. Membukakan botol air mineral saat aku memegang stir. Perhatian Kinasih terasa istimewa dan benar-benar mampu menghadirkan rasa nyaman yang tiba-tiba. Namun, suara lain di kepala memintaku untuk segera menepis perasaan melambung itu.

Lagi pula ini terlalu cepat dan tak seharusnya. Tapi rasa bahagia yang telanjur melumuri hati sejak beberapa saat lalu sudah tak sanggup kuredam lagi.

"Sudah pernah ke sini ?" Kinasih memulai percakapan.

"Dulu pernah. Tapi lupa kapan," jawabku tanpa menoleh. Kurasakan Kinasih memperhatikan wajahku.

"Menikmati Matahari jatuh di bantaran sungai Progo ini adalah hal yang harus saya lakukan jika pulang kampung," kataku.

Seolah bisa menebak raut mukaku yang menyimpan pertanyaan, dia menyela.

"Saya dari Kulonprogo ini mas. Mas pasti dari Ngluwar ya?"

Perjalanan menjadi sangat singkat. Aku kemudian banyak bercerita. Mulai dari alasan kepulanganku kali ini, hingga semua hal-hal yang bersifat lebih detail.

"Kapan kembali ke kota?" tanya Kinasih.

"Rencana besok pagi," jawabku lirih.

"Mau datang lagi?"

"Ya! Pastinya."

"Cobalah datang pada pertengahan tahun. Pada bulan Juli atau Agustus saat bunga Dandelion liar mekar di tepi Progo. Kita nanti jalan bersama menikmati matahari yang jatuh. Itu andai kamu mau."

Kita? Buru-buru kusembunyikan keterkejutan itu dengan membuka kaca mobil, pura-pura membetulkan letak spion.

"Akan senang sekali jika bisa berada di sini tepat pada hari ulang tahunku. Tiga puluh Juli. Aku akan datang," kataku meyakinkan. Tapi kemudian menyesalinya.

"Baiklah. Tiga puluh Juli. Kita jumpa di pelataran Ancol Bligo itu. Di dekat batu Gajah, saat matahari jatuh," Kinasih menjawab.

"Saat senja? Kamu memang sangat mengerti kesukaanku. Okay !" kataku.

Lalu kuangkat tangan kiri. Mengajaknya toss. Kami membuat perjanjian. Sebuah perjanjian yang seharusnya tak kusepakati.

Sampai di Boro, Kinasih turun dan berlalu setelah berpesan untuk hati-hati dan minta maaf karena tidak bisa menemaniku lebih lama.

Sore hari, saat berada di stasiun Tugu Yogyakarta, setelah perjalanan enam jam dari Bandung, ponselku kuaktifkan. Beberapa notifikasi masuk. Senyumku seketika mengembang tanpa bisa disembunyikan saat membaca sebuah pesan dari perempuan asal Kulonprogo.

"Aku sudah di Ancol Bligo sejak tadi sore. Untuk memenuhi janji. Kapan bisa ketemu?" ~ Kinasih.

***

Sudah sepuluh tahun sejak peristiwa itu. Aku harus kembali ke kampungku. Kali ini untuk memperkenalkan anakku kepada asal-usulnya. Tepat tanggal tiga puluh juli. Aku merayakan ulang tahun sederhana, bersama bidadari kecilku di tepian sungai Progo. Di Ancol Bligo, di dekat batu Gajah.

"Pak, aku dapat mainan boneka rumput dari tante berbaju ungu muda itu. Tante itu mencium pipiku dan mengajakku berkenalan. Namanya sama dengan nama almarhumah ibu," jari kecil anakku menunjuk seorang perempuan yang sedang duduk di salah satu batuan.

Perempuan berbaju ungu itu menghadap ke arah barat, searah dengan matahari yang hampir tenggelam di tepi Sungai Progo ini.

Oh..... ternyata dia masih menunggu, sedangkan aku tak pernah menganggap janji itu ada dan memilih Kinasih yang lain….bahkan sampai Kinasih yang lain itu meninggal.

Muntilan, Mei 2016

 

Edhie Prayitno Ige, penulis, guyonis. Pernah menulis Peradaban Salah Urus (Kumpulan Esai) dan Sang Koruptor (Novel).

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya