Liputan6.com, Jakarta Kawasan Kota Tua menjadi salah satu destinasi wisata paling digemari wisatawan mancanegara yang datang ke Jakarta. Bukan tanpa sebab, di kawasan ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang masih berdiri hingga kini.
Selain ada Museum Fatahillah yang awalnya merupakan gedung Balai Kota dan diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck pada 1710, kawasan ini juga punya beragam bangunan bersejarah lainnya, antara lain Gedung Raad van Justitie yang kini menjadi Museum Keramik dan Seni Rupa, serta Museum Bahari yang awalnya adalah gedung penyimpanan komoditas perdagangan VOC.
Baca Juga
Bandara Heathrow di London Mulai Uji Coba Sistem Kecerdasan Buatan untuk Kontrol Lalu Lintas Udara
GATF 2024 Digelar 3 Hari di Jakarta, Benarkah Harga Promo Tiket Pesawatnya Menjanjikan?
LRT Jabodebek Izinkan Pengguna Naikkan Sepeda Utuh ke Gerbong Kereta Mulai 30 November 2024, Berlaku Hanya di Akhir Pekan
Di antara ketiganya, Museum Bahari yang paling banyak terlupakan karena lokasinya yang berjauhan dengan Taman Fatahillah. Setelah beberapa kali beralih fungsi, mulai dari gudang penyimpanan barang VOC, pada masa penjajahan Jepang gedung ini difungsikan sebagai gudang logistik tentara Jepang.
Advertisement
Pasca-kemerdekaan, gedung ini sempat digunakan PLN dan PTT sebagai gudang. Baru pada 1967, bangunan ini dipugar dan direvitalisasi sebagai bangunan cagar budaya. Pada Juli 1927, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Bahari Indonesia.
Di Museum Bahari sendiri tersimpan berbagai peninggalan budaya bahari masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Mulai dari perahu nelayan tradisional dan modern (bentuk asli dan miniatur), folklore dan lagu-lagu masyarakat pesisir, hingga beragam alat penunjang pelayaran dan maket Pulau Onrust yang bersejarah.
Sisi Menarik Museum Bahari
Ira, Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur, saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (16/1/2018) mengatakan, gedung Museum Bahari punya catatan menarik. Komplek bangunan ini telah diubah beberapa kali sampai 1759. Catatan Heuken (2000: 36-37) menunjukkan, angka tahun perbaikan, perluasan, atau penambahan gudang dapat dilihat di atas beberapa pintu museum, misal tahun 1718, 1719, atau tahun 1771.
“Melihat posisi Batavia sebagai semacam ‘head quarters’ untuk kawasan Asia Tenggara saat itu, bandar besar pengumpul rempah-rempah dan komoditas lainnya, tentu Museum Bahari kala itu punya peran penting dalam sejarah perdagangan dan maritim,” ungkap Ria.
Lebih jauh Ria mengatakan, bangunan gedung Museum Bahari juga punya struktur yang unik. Sistem strukturnya berupa balok-balok kayu besar yang ujungnya dipasang besi, seperti huruf Y terbalik, sebagai pengaku.
“Dengar kabar museum ini terbakar, mudah-mudahan masih bisa direvitalisasi. Kalau datanya cukup, tidak masalah untuk revitalisasi. Tentu harus ada kajian dulu, apakah materialnya yang tersisi masih layak digunakan secara kelaikan struktur. Yang susah itu mencari kayu pengganti, karena kayu lama ukurannya besar-besar sekali, belum tentu stok kayu ukuran besar masih ada,” ungkap Ria menambahkan.
Advertisement
Tanggapan Komunitas Wisata Sejarah
Sementara itu, Edi Ketua Backpacker Jakarta, saat dihubungi Liputan6.com mengatakan, musibah kebakaran menjadi pengingat dinas dan pihak terkait untuk lebih memperhatikan dan menjaga situs bersejarah Ibu Kota.
"Harapan saya segera ditindak dan diselidiki apakah ada unsur kesengajaan, kelalaian, apa memang musibah. Yang paling penting, semua benda yang ada di museum bisa diselamatkan terlebih dahulu," ungkap Edi.