Liputan6.com, Jakarta - Bak permata tersembunyi, begitu pula kehadiran Vihara Lalitavistara di Cilincing, Jakarta Utara. Vihara yang berlokasi di Jalan Krematorium Cilincing ini memiliki sejarah panjang karena dibangun sejak abad 11.
Ada gapura di depan yang menandakan bahwa kita telah masuk ke kompleks vihara. Ketika kita masuk, pendopo di depan menyambut kita. Pendopo beratap stupa tersebut merupakan tempat guci pembakaran dupa di depannya.
Suwito, seorang Master Pendidikan Agama Buddha yang menjadi pemandu wisata vihara tertua di Jakarta ini menjelaskan sejarah Vihara Lalitavistara. "Awalnya, vihara ini bernama Klenteng Sam Kuan Tai Tie, ditemukan oleh para pelaut yang berlabuh di pantai dekat Cilincing ini," tuturnya kala ditemui di vihara ini pada Rabu, 16 Januari 2019.
Advertisement
Baca Juga
Penduduk di sekitar pantai lalu membuat tempat ibadah untuk penganut Buddha, yang akhirnya bernama Lalitavistara. "Penamaan Lalitavistara ini berdasarkan Kitab Suci agama Buddha yang menceritakan tentang perjalanan hidup Sidharta Gautama dari lahir hingga meninggal dunia,"Â terang Suwito.
Sejak saat itu, vihara ini selalu berkembang dari masa ke masa hingga sekarang, termasuk keberadaan sekolah di lingkungan vihara tersebut. Tampak siswa-siswi baru saja pulang sekolah dan keluar dari ruangan tersebut kala Liputan6.com mengunjungi vihara tersebut pada siang hari.
"Vihara ini juga satu kompleks dengan gedung TK, SD, dan SMP Maha Prajna," cerita Suwito. Tak hanya itu, ada juga Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Maha Prajna di situ.
Kala masuk, Liputan6.com bersama dengan 150 pelajar SMA yang sedang mengikuti tur dari Wisata Kreatif Jakarta digiring ke ruangan besar yang disebut altar. Di depannya terpajang patung Sidharta Gautama, tokoh yang kemudian disebut Buddha. Ada juga patung empat dewa lainnya yang berada di sisi dinding tersebut.
"Altar ini biasanya untuk tempat beribadah, tapi bisa juga jadi tempat pernikahan," kata Suwito. Ia menjelaskan, ibadah di vihara ini menggunakan dua bahasa, yakni Bahasa Mandarin dan Bahasa Sansekerta.
Â
Kehidupan Para Biksu
Ketika kita berjalan menyusuri vihara tersebut, tampaklah barisan lampion yang tergantung di langit-langit tersebut. Lampion tersebut berjajar dari depan bangunan hingga ke ruang sembahyang yang terletak di belakang.
Para biksu dan biksuni pun tinggal di vihara ini. Mereka tinggal di asrama yang berada di dalam kompleks vihara Lalitavistara. Mereka menjalani hidup selibat dan harus jauh dari kemewahan.
Ada ruang serbaguna yang menjadi tempat berkumpul para biksu di tengah ruangan ini. "Budaya orang yang beragama Budha adalah makan bersama, oleh karena itu para biksu dan biksuni harus makan bersama di ruangan ini," kata Suwito.
Tak hanya bagian dalam bangunan yang dirawat, vihara ini memiliki taman yang terawat. Miniatur Candi Borobudur diletakkan di taman tersebut sebagai aksesori.
Ketika kita melihat dari luar vihara, ada juga pagoda yang menjulang tinggi di belakang bangunan tersebut. "Pagoda ini merupakan tempat relik, jenazah yang diabukan disimpan di pagoda tersebut," tutup Suwito mengakhiri tur.
Gedung vihara ini dilindungi oleh Undang-Undang Monumen STBL 1931 no. 238. Hal itu tertera jelas dalam papan yang dipajang di ruang sembahyang Vihara Lalitavistara ini. Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum dan Sejarah menetapkannya dalam SK Gubernur No. Gb. 11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972. (Esther Novita Inochi)
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement