Mengenal Ritual Ngalak Air di Kutai Kartanegara

Terdapat makna filosofis dan sentuhan mistis di ritual Ngalak Air asal Kutai Kartanegara.

oleh Asnida Riani diperbarui 28 Agu 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2019, 13:00 WIB
sekolah darta
SD Negeri 014, Desa Tani Baru,Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dilihat dari udara. Tak ada daratan sama sekali. (foto: Liputan6.com / abdul jalil)

Liputan6.com, Jakarta - Sebelum pelaksanaan Festival Erau, ritual Ngalak Air selalu dilaksanakan di Kutai Lama, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Mengutip dari laman Indonesia Kaya, Selasa 27 Agustus 2019. dalam ritual ini, air dari Kutai Lama dibawa ke Keraton Kutai untuk digunakan dalam berbagai prosesi pelaksanaan Erau.

Ritual Ngalak Air mengandung pesan filosofis agar selalu mengingat asal-muasal nenek moyang dan mempertahankan kearifan leluhur yang diwariskan. Meski Ibu Kota Kesultanan Kutai berpindah ke Tenggarong, keluarga Kesultanan Kutai tetap menganggap Kutai Lama sebagai kampung halaman dan asal-usul nenek moyang mereka.

Karenanya, Ngalak air di Kutai Lama Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan satu atau dua hari sebelum diselenggarakan upacara mendirikan tiang ayu yang menandai dimulainya Erau. Dalam ritual ini, masing-masing seorang utusan dewa (perempuan pengabdi ritual) dan belian (lelaki pengabdi ritual) diberangkatkan bersama perwakilan Kesultanan.

Rombongan berangkat melalui jalur air menyusuri Sungai Mahakam menggunakan speed boat. Bersama rombongan ini, disertakan kelengkapan ritual, seperti beras wija kuning, wijen hitam yang dicampur dupa, air tepong tawar, arang yang membara, kembang, dan beberapa butir telur.

Ragam kelengkapan tersebut digunakan untuk pelaksanaan ritual besawai dan melaboh tigu atau mempersembahkan telur yang bermaksud memohon izin, serta memberitahu penghuni alam gaib tentang pelaksanaan Erau.

Ritual besawai dan melaboh tigu dilakukan di beberapa titik, yakni di ujung utara Pulau Kumala, Loa Gagak, Pamerangan, Tepian Aji, dan Tepian Batu. Pada titik terakhir, kapal akan berputar sebanyak tiga kali sebelum dilakukan besawai dan melaboh tigu.

Setelah rangkaian ritual selesai, perwakilan Kesultanan mengambil air dengan guci khusus. Air Kutai Lama ini dibawa kembali ke Tenggarong dan ditempatkan di dekat Tiang Ayu yang berada di Ruang Stinggil, Keraton Kutai.

Setiap hari, isi dari guci ini akan ditambahkan dengan air Sungai Mahakam yang diambil dari dermaga di depan Museum Keraton melalui ritual mengundang air dan Ngalak Air tuli untuk selanjutnya digunakan dalam ritual-ritual Erau. Bersamaan dengan ritual mengulur naga pada hari ke-6 pelaksanaan Erau, air dalam guci ini dikembalikan ke sumber asalnya di Kutai Lama. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Garis Keturunan Bangsawan Keraton Kutai Kartanegara Ing Martadipura

Sungai Mahakam di Kalimantan. (Maul/Liputan6.com)
Sungai Mahakam di Kalimantan. (Maul/Liputan6.com)

Masih lekat dengan nenek moyang, sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura nyatanya tak dapat dipisahkan dari daerah di hulu Sungai Mahakam, yaitu Tepian Batu.

Meski kejayaan Kesultanan Kutai dicapai saat ibu kota pindah ke Tenggarong, kisah panjang kesultanan berusia lebih dari 700 tahun ini bermula di Kutai Lama.

Di sini, legenda tentang kemunculan dua bayi lewat kejadian misterius berasal. Bayi Aji Batara Agung Dewa Sakti dikisahkan muncul di depan rumah seorang pembesar masyarakat Tepian Batu.

Bayi tersebut terbaring di atas Batu Raga Mas dengan tangan kanan menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kiri memegang keris emas. Dikisahkan bahwa tujuh dewa turun dan memberi petunjuk pada sang pembesar bahwa anak tersebut berasal dari kayangan dan harus dibesarkan dengan cara berbeda dari anak manusia biasa.

Sang permaisuri dikisahkan juga muncul secara misterius dari dasar Sungai Mahakam. Bayinya terbaring di atas gong yang dijunjung seekor naga yang muncul dari pusaran air.

Naga tersebut kemudian mengantarkan Putri Karang Melenu ke hadapan seorang petinggi Hulu Dusun yang telah membesarkan sang naga. Si pembesar kemudian jadi orangtua angkat yang membesarkan Putri Karang Melenu hingga dewasa.

Keduanya kelak dinamai Aji Batara Agung Dewa Sakti dan Putri Karang Melenu, pasangan Raja dan Permaisuri Kutai yang pertama. Kedua sosok inilah yang jadi cikal bakal garis keturunan keluarga besar bangsawan Keraton Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya