Liputan6.com, Jakarta - Saat aturan penutupan sekolah karena pandemi Covid-19 berlaku, para ahli perlindungan anak mengestimasi sebagian besar anak-anak di negara miskin dan berkembang, seperti di kawasan Asia, mungkin tidak akan pernah kembali ke kelas. Puluhan ribu anak perempuan putus sekolah terpaksa menikah di bawah umur karena kondisi ekonomi keluarga terdampak pandemi.
Dikutip dari The Guardian, Kamis, 10 September 2020, Maret lalu, UNESCO memperkirakan lebih dari 89 persen siswa di dunia terdaftar dalam pendidikan, termasuk hampir 743 juta anak perempuan, tidak bersekolah karena pembatasan wilayah.
Advertisement
Baca Juga
Dr Faith Mwangi-Powell, Kepala Eksekutif Girls Not Brides, sebuah organisasi kemitraan global yang berkomitmen mengakhiri pernikahan anak, mengatakan, ada bukti nyata penutupan sekolah menyebabkan peningkatan kekerasan berbasis gender, seperti dipaksa bekerja atau menikah.
"Sekolah adalah jaring pengaman bagi banyak orang, dan situasi ini lebih merugikan anak perempuan daripada anak laki-laki karena mereka lebih mungkin dinikahkan, dipandang sebagai beban keluarga yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi," katanya.
"Ini adalah tantangan besar, dan semakin lama ditunda, semakin besar dampaknya bagi anak perempuan. Kita perlu mengembalikan gadis-gadis ini ke sekolah," tambahnya.
Badan Kependudukan PBB, UNFPA, April lalu menegaskan bahwa dalam 10 tahun ke depan, pernikahan anak akan bertambah 13 juta lebih banyak akibat penutupan sekolah dan layanan keluarga berencana selama enam bulan terakhir, terutama akibat meningkatnya kesulitan ekonomi selama pandemi.
Dalam survei oleh lembaga literasi non-profit Room to Read terhadap 24 ribu anak perempuan di delapan negara, setengahnya ditemukan berisiko tinggi mengakhiri pendidikan mereka secara permanen karena penutupan sekolah.
Saksikan Video Pilihan Berikut:
Masalah Ekonomi dan Kehamilan di Masa Pandemi
Pernikahan di bawah umur telah lama jadi momok bagi anak perempuan yang terlahir di keluarga kurang mampu dan berpendidikan rendah di kawasan Asia, seperti Indonesia, India, Sri Lanka, Vietnam, dan Pakistan. Jumlahnya sempat menurun karena inisiatif berbagai lembaga untuk menyebarkan kesadaran akan bahayanya, serta mendorong akses pendidikan dan layanan kesehatan perempuan.
Sayangnya, kondisi saat ini kian memburuk upaya-upaya tersebut karena pandemi menyebabkan para orangtua kehilangan pekerjaan hingga kesulitan memperjuangkan kehidupan keluarga.
"Terjadi peningkatan pernikahan anak selama periode lockdown. Pengangguran merajalela. Keluarga hampir tidak mampu memenuhi kebutuhan, jadi mereka pikir yang terbaik adalah menikahkan anak perempuan mereka," kata Rolee Singh, aktivis kampanye 1 Step 2 Stop Child Marriage di India, menurut laporan Aljazeera.
"Kami juga melihat anak-anak menikah karena pihak lain menawarkan uang atau semacam bantuan sebagai imbalan. Keluarga-keluarga ini tidak memahami konsep perdagangan (manusia), ini tren yang mengkhawatirkan," ujarnya menambahkan.
Muskaan, gadis 15 tahun asal India, mengatakan bahwa ia dipaksa menikah oleh orangtuanya yang bekerja sebagai petugas kebersihan jalan dan memiliki enam anak lain untuk diberi makan. "Orangtua saya miskin, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Saya berjuang sekeras yang saya bisa, tapi akhirnya harus menyerah," tuturnya sambil menangis.
Selain itu, kehamilan juga jadi pemicu pernikahan anak, seperti yang dialami Lia (bukan nama sebenarnya), remaja 18 tahun dari Sulawesi Barat, Indonesia. Akibat sedikitnya akses tentang program keluarga berencana, ia hamil di masa pembatasan wilayah. Pihak keluarga bersikeras menikahkannya dengan lelaki 21 tahun, ayah dari anaknya.
"Saya dulu bermimpi jadi pramugari," kenang remaja itu. "Tapi gagal dan berakhir di dapur," sela suami barunya Randi yang belum mendaftarkan pernikahan mereka ke pihak berwenang.
Â
Advertisement
Pendidikan sebagai Satu-Satunya Jalan
Organisasi Save the Children telah memperingatkan, kekerasan terhadap anak perempuan dan risiko pernikahan paksa di bawah umur dapat jadi ancaman lebih mengerikan daripada virus itu sendiri.
Sementara ini, pendidikan dianggap sebagai prinsip utama dalam menentang pernikahan anak. Namun, para aktivis mengungkap, kebijakan pembatasan wilayah memaksa ratusan juta anak tidak bersekolah, dan anak perempuan di bagian termiskin di dunia terdampak paling parah.
Berdasarkan laporan Aljazeera, awal September ini, 275 mantan pemimpin global, pakar pendidikan, dan ekonom mendesak pemerintah, serta organisasi seperti Bank Dunia memastikan bahwa dampak virus corona baru tak menciptakan generasi COVID, atau mereka yang kehilangan pendidikan dan kesempatan hidup yang adil.
"Banyak dari anak-anak ini adalah remaja perempuan, di mana sekolah adalah pertahanan terbaik melawan pernikahan paksa dan memberi harapan terbaik untuk hidup dengan kesempatan lebih luas," kata sebuah surat terbuka yang ditandatangani para pejabat, termasuk mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, mantan Direktur Eksekutif UNICEF Carol Bellamy, serta mantan perdana menteri negara lainnya.
Pernikahan anak hanya satu dari peringatan para ahli tentang pola sosial yang merusak hak-hak anak perempuan di seluruh dunia akibat pandemi Covid-19. Maka dari itu, jalan keluarnya harus segera dicari dan dilaksanakan. (Brigitta Valencia Bellion)