Liputan6.com, Jakarta - Dampak krisis iklim ada di sekitar kita, dan karenanya dorongan untuk mengadopsi kebiasaan lebih ramah lingkungan terus diinisiasi dari berbagai aspek. Yang paling erat kaitannya tentu bagaimana kita menjalani keseharian, yang mana dalam opsinya ada juga gaya hidup ramah lingkungan.
Seberapa relevan pilihan ini terhadap upaya menahan laju perubahan iklim? Founder Lyfe with Less (LWL) Cynthia Suci Lestari menjelaskan, gaya hidup minimalis adalah pola pikir untuk mengelilingi diri dengan barang-barang paling esensial.
"Ini mengarah pada istilah 'less is more,' jadi bagaimana hidup dengan cukup untuk mendapatkan lebih," katanya melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Jumat, 5 November 2021. "Yang harus diperhatikan, less dan more setiap orang bisa saja berbeda."
Advertisement
Baca Juga
Cynthia menyebut ada tiga pilar dalam implementasinya. Ketiganya adalah meringankan diri dari barang-barang yang tidak lagi bermanfaat, meringankan diri dari distraksi pikiran dan emosi, serta meringankan diri dari konsumsi berlebihan.
PR & Communications Sustaination Amira pun sepakat. Menurutnya, gaya hidup minimalis berarti pengadopsinya memiliki level kurasi tertentu sesuai nilai yang dianut. "Lebih menghargai nilai barang sebagai bagian pemenuhan sebuah value kehidupan," ujarnya lewat pesan suara, Sabtu, 6 November 2021.
"Misalnya, saat satu barang tidak memenuhi lebih dari satu tujuan, mungkin bisa cari solusi lain. Atau ternyata umur produknya pendek, itu juga mungkin tidak masuk value," imbuh Amira.
Bila ditarik benang merah, ia mengatakan, gaya hidup minimalis bisa relevan dengan pemilihan produk ramah lingkungan. "Karena dari sisi value, levelnya (produk ramah lingkungan) memang tinggi," tuturnya. "Tidak semata barang atau dilihat dari harga, tapi juga ada nilai tanggung jawab, sosial, dan lingkungan hidup."
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Relevan dengan Konsumsi Produk Ramah Lingkungan?
Cynthia menyampaikan, dampak adopsi gaya hidup minimalis bersifat sangat personal. "Tujuan (menerapkan gaya hidup minimalis) itu berbeda-beda. Ada yang lebih ingin berhemat, hidup secara seimbang, atau slow living. Persamaannya (dengan konsumsi produk ramah lingkungan) lebih pada tindakan yang berkesadaran," paparnya.
Dalam memilih produk ramah lingkungan demi menunjang gaya hidup minimalis, Amira menegaskan jangan sampai mengorbankan kebutuhan primer. Alih-alih, mengurangi kebutuhan tersier dengan tidak membeli produk semata karena sedang tren.
"Kembali ke basisnya bahwa barang-barang di sekeliling kita ada untuk menunjang mindset (gaya hidup minimalis)," ucapnya.
Ini, kata Amira, bisa dimulai dari memiliki perspektif sirkular produk. Apakah itu sudah diambil, dikelola, didistribusikan, dan tahu akan dikemanakan ketika selesai masa pakai.
"Secara sadar bertanggung jawab sampai produk selesai digunakan. Jadinya enggak menimbun sampah atau, misalnya, sisa botol di rumah yang akhirnya tidak terpakai," katanya.
Cynthia menyambung, ini juga bisa diterapkan dengan mengeliminasi barang sekali pakai. "Jadi bukan hanya mengurangi jumlah barang, tapi memilah produk (berusia lebih panjang) untuk dikonsumi," ia mengutarakan. "LWL juga ada kampanye 'Pakai sampai Habis,' ' Pakai sampai Rusak' supaya enggak impulsif membeli barang."
Advertisement
Jangan Salah Persepsi
Berbicara gaya hidup minimalis, kata Cynthia, selama ini publik mengasosiasikannya dengan kecil, sempit, bahkan pelit. "Padahal sebenarnya tidak begitu. Pertimbangannya adalah kualitas, bukan kuantitas," katanya.
"Banyak konten dekorasi rumah yang mengorelasikan estetis dengan minimalis, jadi kesannya harus begitu. Tidak harus tiba-tiba beli seprai semua putih, cat dinding serba putih, hidupnya bernuansa monokrom. Tetap bisa minimalis kok walau pakai seprai bunga-bunga. Pakai apa saja yang ada," Cynthia menjelaskan.
"Kemudian, kesannya harus serba memprihatinkan, tidak boleh pakai barang mahal. Lagi-lagi, yang harus dipahami, gaya hidup minimalis adalah soal value, jadi tidak bisa dilihat dari sisi harga. Bagaimana menjalani gaya hidup minimalis ini tidak harus diseragamkan secara kaku," sambungnya.
Di LWL, pihaknya terbuka pada siapa pun yang ingin bergabung dalam semangat gaya hidup minimalis. "Satu yang rajin kami suarakan adalah decluttering. Buat menunjang itu, kami punya ruang di Telegram yang setiap hari Minggu (pukul) 9 pagi sampai 9 malam memperbolehkan orang berjualan atau membuka adopsi barang yang sudah tidak bermanfaat lagi bagi mereka," paparnya.
Akhirnya berdasarkan value, menurut Amira, gaya hidup minimalis dan konsumsi produk ramah lingkungan bisa berjalan beriringan. "Karena tidak selalu tentang memilih satu atau yang lain. Bisa cari irisan yang menguntungkan dan meningkatkan kualitas hidup kita," tandasnya.
Kendati sebagai konsekuensi tidak diinginkan, gaya hidup minimalis nyatanya baik untuk Bumi. Melansir DW, sebuah studi tahun 2015 menemukan bahwa lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca global disebabkan konsumsi rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga tentu lebih tinggi di negara-negara kaya. Ketika ekonomi di seluruh dunia berkembang, konsumsi meningkat. Semakin banyak orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan, semakin banyak barang yang mereka beli.
Tapi, itu tidak serta merta membuat mereka bahagia. Seperti yang ditunjukkan penelitian, pendapatan lebih tinggi dan daya beli yang lebih besar meningkatkan kesejahteraan hanya sampai titik tertentu.
Infografis Menerapkan Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Advertisement