Liputan6.com, Jakarta - Sampah jadi persoalan berbagai kalangan di Indonesia, termasuk sampah makanan. Indonesia bahkan menempati peringkat nomor dua di dunia setelah Arab Saudi dalam persoalan yang bisa berdampak pada perubahan iklim.
"Sayang banget ya, bukan prestasi. Itu bisa jadi bahan untuk refleksi. Berdasarkan data dari Economist Intelligent Unit menyebutkan bahwa Indonesia membuang sekitar 300 kilogram makanan per orang setiap tahun. Itu sesuatu yang sangat besar," ujar pendiri Zero Waste Indonesia, Maurilla Sophianti Imron atau akrab disapa Mauril saat berbincang lewat akun Instagram Zero Waste Indonesia mengenai kampanye Make It Last dari Electrolux, 4 Desember 2021.
Advertisement
Baca Juga
Jika makanan itu dimanfaatkan dengan baik, sangat bisa untuk memenuhi 100 persen kebutuhan gizi masyarakat Indonesia yang masih kekurangan. Sekitar 40 persen timbunan sampah itu berasal dari makanan dan 58 persen itu berada dalam tahap konsumsi.
"Jadi, ada perilaku di masyarakat Indonesia yang tidak menghabiskan makanannya atau membuang-buang makanananya. Itu juga termasuk sayur-sayur dan buah yang tidak sampai ke retail atau ke supermarket karena preferensi kita. Intinya, mengapa itu terjadi karena masalah konsumsi dan cara kita memilih makanan," papar Mauril.
Mauril mengatakan sampah makanan yang biasa muncul di dalam pikiran banyak adalah sesuatu yang terlihat dan terukur. Padahal, ada hal-hal yang tidak terlihat yang terbuang percuma akibat produksi sampah makanan.
"Contoh, energi yang keluar dari pilihan-pilihan yang kita pilih, seperti seperti CO2 dan emisi karbon. Pilihan makanan sangat berdampak pada lingkungan, karena di sana ada proses produksi, termasuk proses transportasi hingga ke piring kita," tutur Mauril.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kurangi Daging
Ajiputra dari 360 Marketing Electrolux juga sependapat bahwa timbunan sampah makanan sangat mengkhawatirkan. Karena itu, salah satu cara untuk menguranginya dapat dilakukan dengan memilih makanan agar bisa berkelanjutan.
"Selama ini, kita menerima makanan apa adanya saja. Padahal, pemilihan makanan sangat penting," kata Aji. Pilihan makanan itu sangat berpengaruh pada energi, CO2 dan emisi karbon.
"Daging-dagingan itu sangat tinggi menghasilkan CO2 dan yang paling rendah karbon itu kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Tapi ironisnya, sayur hanya dianggap sebagai pelengkap saja," ujar Mauril.
Masyarakat kebanyakan masih menganggap daging sebagai yang paling dominan. Walau harganya terbilang mahal, daging dipilih karena rasanya nyaman di lidah. "Makannya orang kita itu lebih banyak yang memilih daging daripada sayur," ujar Ajiputra.
Advertisement
Perbanyak Sayur
Mauril berkata, perubahan pola makan untuk mengurangi daging bisa dilakukan dengan cara memperbanyak sayur. Namun, perubahan itu tidak bisa dilakukan secara instan.
"Kita kurangi dulu dagingnya dengan memperbanyak sayur. Besoknya, konsumsi daging lebih dikurangi lagi, dan seterusnya," ujar Mauril.
"Kita banyak sekali pilihan, tahu dan tempe juga bisa mengenyangkan, begitu juga dengan umbi-umbian, selain mengenyangkan juga enak," imbuh Mauril.
Dengan memperbanyak sayur, berarti dapat mengurangi proses produksi menjadi makanan yang tersaji di atas piring. "Karena dari langkah kecil ini bisa berkontribusi melindungi lingkungan dan memperlambat perubahan iklim," kata dia.
Infografis Tanaman Sayuran yang Cocok Ditanam di Lahan Sempit
Advertisement