Liputan6.com, Jakarta - Sebuah kota di Prancis, Grenoble, mengizinkan penggunaan burkini oleh perempuan Muslim yang hendak berenang di kolam renang yang dikelola negara. Keputusan itu kembali memicu perdebatan paling kontroversial di Prancis tentang pakaian yang berdasarkan agama.
Baju renang menutup badan itu digunakan sejumlah perempuan muslim untuk menutup tubuh dan rambutnya ketika berenang. Pakaian itu selalu jadi bahan pembicaraan kontroversial selama musim liburan dalam beberapa tahun. Mayoritas sayap kanan dan kaum feminis menuntut pelarangan atas pakaian itu karena dipandang sebagai simbol Islamisasi dan menghina tradisi sekuler Prancis.
Advertisement
Baca Juga
Tuntutan itu direspons dengan pelarangan di mayoritas fasilitas kolam renang yang dikelola negara. Pengelola memberlakukan aturan busana renang yang ketat untuk semua orang, termasuk para pria yang diwajibkan untuk mengenakan celana ketat. Tetapi, alasan yang dikedepankan adalah soal kebersihan, bukan alasan agama.
Dengan aturan baru di Grenoble, ini berarti pengunjung lelaki juga dapat mengenakan celana pendek yang lebih panjang. Begitu pula dengan wanita bisa berenang tanpa busana di kolam renang Kota Alpine.
Wali Kota Grenoble Eric Piolle, salah satu politisi Hijau yang memimpin koalisi sayap kiri di dewan kota, telah memperjuangkan langkah itu sejak lama tetapi menghadapi kampanye opsisi yang sengit. Dia berhasil mengumpulkan suara yang cukup dalam rapat dewan kota untuk menyetujui usulan tersebut, meskipun tidak didukung partainya sendiri, EELV.
Usulannya mendapat kemenangan tipis dengan 29 suara setuju, 27 menentang, dan dua abstain setelah 2,5 jam perdebatan tajam. "Yang kami inginkan adalah perempuan dan laki-laki bisa berpakaian sesuai keinginan mereka," kata Piolle kepada penyiar RMC, Senin, 16 Mei 2022, dikutip dari laman France24, Kamis (19/5/2022).
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ditentang Oposisi
Sementara itu, tentangan terus berdatangan walau keputusan sudah diambil. Oposisi menyikapi secara berbeda, termasuk kepala konservatif berpengaruh dari wilayah Auvergne-Rhone-Alpes yang lebih luas, Laurent Wauquiez, yang berjanji untuk menarik dana dari kota.
"Saya yakin bahwa apa yang Mr Piolle pertahankan adalah jalan buntu yang mengerikan bagi negara kita," kata Wauquiez pada awal Mei. Dia menuduhnya "melakukan kesepakatan dengan Islam politik" untuk "membeli suara".
Dalam rapat dewan, mantan Wali Kota Alain Carignondari sayap kanan mendesak referendum lokal tentang masalah ini. "Anda tidak dapat memaksakan subjek sensitif seperti itu. Anda tidak memiliki legitimasi, Anda tidak dipilih untuk itu," ia berpendapat.
Perselisihan di tingkat regional itu kembali menempatkan burkini sebagai berita utama di level nasional. Isu itu diulas dalam acara bincang-bincang Prancis hingga pertarungan politik menjelang pemilihan parlemen bulan depan.
Gerakan pelarangan burkini dimulai dari selatan Prancis saat beberapa wali kota berupaya melarang pengunjung Pantai Mediterania memakainya pada musim panas 2016. Tindakan itu diambil setelah serangkaian teror terjadi di Prancis. Namun, pelarangan itu memicu kritikan, termasuk anggapan diskriminasi pada kaum muslim.
Advertisement
Dianggap Bahayakan Negara
Isu tentang bagaimana orang berpakaian di kolam renang menyentuh topik yang sangat sensitif di Prancis, termasuk ketakutan tentang pengaruh Islam dan ancaman terhadap sekularisme yang dijunjung tinggi di negara itu.
"Tampaknya bagi saya (Wali Kota Piolle) tidak menyadari bahaya yang dia lakukan terhadap nilai-nilai Republik kita," Prisca Thevenot, juru bicara partai Presiden Emmanuel Macron, mengatakan kepada Radio J, awal pekan ini.
"Ini akan melanggar aturan untuk menanggapi keinginan politik berdasarkan agama," tambahnya.
Namun, Grenoble bukanlah kota pertama yang mengubah kebijakannya. Kota di barat laut Prancis, Rennes juga telah memperbarui aturan berbusana di kolam renang pada 2019 dengan mengizinkan burkini dan jenis pakaian renang lainnya.
Merek olahraga Prancis, Decathlon, juga mendukung keinginan muslimah untuk berolahraga dengan busana tertutup. Pada 2019, mereka mengumumkan rencana untuk menjual 'jilbab olahraga' yang memungkinkan perempuan muslim menutupi rambut mereka saat berlari.
Hijab di Bidang Olahraga
Perdebatan tentang burkini muncul saat pesepakbola wanita Muslim Prancis berjuang untuk membatalkan larangan pemakaian simbol agama selama pertandingan kompetitif. Sebuah kolektif perempuan yang dikenal sebagai "les Hijabeuses" meluncurkan tantangan hukum terhadap aturan tersebut pada November tahun lalu.
Les Hijabeuses adalah kelompok yang berbasis di Paris. Mereka terdiri dari wanita-wanita muda berhijab yang bermain sepak bola. Mereka sedang berjuang memprotes larangan tersebut. Bagi mereka, larangan itu seperti mengucilkan wanita Muslim dari dunia olah raga.
"Seharusnya talenta yang jadi tolak ukur, bukan apa yang Anda kenakan, warna kulit, atau agama. Kami di lapangan untuk bermain sepak bola. Jadi talenta kami yang harusnya dilihat, bukan yang lainnya," kata Mama Diakite, salah seorang anggota komunitas itu.
Senat Prancis mengambil pemungutan suara untuk melarang hijab dan "simbol-simbol agama" lain dalam olahraga pada Januari 2022. Partai sayap kanan Les Republicains mengajukan ini dengan dalih hijab bisa membahayakan keamanan atlet. Sebanyak 160 anggota senat menyetujui, 143 menolak. Ini berarti bahasan bakal masuk ke tahap selanjutnya menuju pengesahan masuk undang-undang.
Muslimah Prancis sudah dilarang menggunakan hijab di beberapa tempat. Busana tertutup seperti burka dan nikab dilarang dikenakan di tempat publik, mulai dari jalan-jalan umum, transportasi publik, tempat berbelanja, rumah sakit, dan bioskop. Prancis memberlakukan larangan sejak April 2021. Mereka mengesahkan hukum yang melarang wajah ditutup di ruang publik.
Federasi Sepak Bola Prancis saat ini melarang pemain bermain sambil mengenakan simbol agama yang "mencolok" seperti jilbab Muslim atau kippa Yahudi.
Advertisement