Eksplorasi Potensi Makanan Lokal Indonesia Lewat Inovasi dan Promosi Digital

Makanan Indonesia begitu kaya akan keragamannya, tak hanya dari bahan baku tapi bahkan ada kuliner legendaris hasil alkulturasi yang terus mengalami penyesuaian untuk bisa bertahan di tengah tantangan zaman.

oleh Dyah Ayu Pamela diperbarui 15 Okt 2023, 12:46 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2023, 10:02 WIB
Selat Solo merupakan salah satu makanan Indonesia hasil alkulturasi dengan budaya Belanda
Selat Solo merupakan salah satu makanan Indonesia hasil alkulturasi dengan budaya Belanda. (Dok: Selat Viens)

Liputan6.com, Jakarta - Makanan lokal Indonesia begitu kaya akan keragamannya. Bukan hanya dari segi bahan baku tapi bahkan ada kuliner legendaris hasil alkulturasi yang terus mengalami penyesuaian untuk bisa bertahan di tengah tantangan zaman.

Rendang dan gudeg adalah dua di antara kuliner lokal asli Indonesia. Ada pula selat solo, bakso, siomay, martabak, bakwan sampai bakpia sebagai makanan lokal hasil pengaruh budaya bangsa lain yang cukup unik.

Di sanalah ada potensi kuat untuk mengembangkannya sebagai bisnis di bidang food and beverange (F&B). Seperti yang sedang dijalani Serra Argo Rianda, dengan mengelola Selat Viens yang sudah eksis di kota Surakarta, usaha keluarganya turun-temurun.

"Tantangan dalam bisnis kuliner sudah ada sejak dulu karena makanan di zaman Belanda konsumennya pun bukan hanya dari orang Indonesia, tapi market asing khususnya orang kulit putih," ujar Serra saat wawancara melalui pesan suara dengan Liputan6.com, Jumat, 14 Oktober 2023.

Meski merupakan menu lawas yang sudah ada sejak zaman Belanda, Selat Viens yang didirikan pada 2008 mengemas kuliner selat solo dengan penyesuaian cita rasa baru agar bisa diterima lidah generasi sekarang. "Dari segi rasa sudah tidak utama dari manis kecap, tapi kuahnya juga memiliki rasa asam segar," beber Serra.

Dari sisi kemasan, Selat Viens juga menyesuaikan dengan zaman yang juga mengakomodir penjualan online. Tidak lagi menggunakan kertas biasa, dari beralih ke styrofoam kini sudah menggunakan kotak yang membuat pembeli bisa mudah membawanya agar kuahnya pun tidak gampang tumpah. 

 

Promosi Digital dan Jejaring Memperluas Peluang

Selat Solo merupakan salah satu makanan Indonesia hasil alkulturasi dengan kuliner Belanda
Selat Solo merupakan salah satu makanan Indonesia hasil alkulturasi dengan kuliner Belanda. (Dok: Selat Viens)

Dalam hal promosi Selat Viens juga sudah beralih ke promosi digital dengan memanfaatkan media sosial. Bahkan ia punya komunitas konten kreator yang anggotanya lebih dari seratus orang agar bisa menyebarkan bahwa selat solo kini bisa juga menjadi makanan kekinian.

Di laman media sosialnya, Selat Viens juga mengemas foto yang sangat representatif dan kini tak hanya berjualan selat solo saja. Makanan lokal Indonesia lainnya seperti Nasi Timlo dan yang favorit saat ini dari rice bowl, soto hingga ayam geprek. 

Berkat keberhasilannya mengembangkan Selat Viens, Serra juga sempat diminta untuk menjadi pembicara dalam berbagai kegiatan dengan para pemilik UMKM agar bisa belajar bisnis kuliner. Pemerintah kota Surakarta dan juga Kementerian lembaga menurut Serra banyak memberikan dukungan dengan peningkatan kapasitas UMKM bidang kuliner untuk memiliki perizinan, hak paten, sertifikat halal, dan digital marketing untuk UMKM lokal di Solo.

Teman Wali Kota Solo, Gibran Rakkabuming semasa masih sekolah SD ini pun mengungkap bahwa ia memiliki kewajiban untuk menyebarkan ilmu bisnis yang sudah diterapkannya selepas lulus S2 dari UGM. Tak berhenti di situ, Serra yang juga merupakan Vice Chairperson, International Affairs di Junior Chamber International (JIC) Indonesia organisasi kepemudaan sejenis HIPMI namun skala internasional yang sebagian besar anggotanya enterpreneur dunia. 

Setelah cukup berhasil di kota Solo, Selat Viens pun menurut Serra akan mencoba untuk mengembangkannya, salah satunya lewat jejaringnya di KBRI Madrid. Ia akan memperkenalkan selat solo sekirat akhir November 2023 nanti. 

 

 

Inovasi Kuliner Lokal Jadi Oleh-Oleh Kekinian

Anton Prasojo, (tengah) Founder dan Owner dari Geprania, sebuah brand makanan oleh-oleh yang berbasis di Yogyakarta bersama tim inkubasi kuliner Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Anton Prasojo, (tengah) Founder dan Owner dari Geprania, sebuah brand makanan oleh-oleh yang berbasis di Yogyakarta bersama tim inkubasi kuliner Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (Dok: Geprania)

Makanan lokal Indonesia tak terbatas hanya kuliner yang langsung dikonsumsi saja, tapi ada juga oleh-oleh makanan yang kerap dicari para wisatawan ketika berkunjung ke sebuah destinasi. Hal itu menjadi peluang untuk mengeksplorasi makanan lokal untuk lebih dikenal lagi.

Anton Prasojo, Founder dan Owner dari Geprania, sebuah brand makanan oleh-oleh yang berbasis di Yogyakarta mengungkapkan awal mulanya ia membangun bisnis tersebut. Magelang Jawa Tengah merupakan salah satu daerah asal mulanya singkong, tempat kelahirannya menjadi inspirasi untuk mengembangkan getuk singkong sebagai makanan oleh-oleh.

"Saya melihat ada masalah ketika produk getuk daya tahan tidak lama dan hanya tersedia di pasar tradisional, padahal ini makanan enak dan semakin ke sini makin banyak orang kurang mengenal getuk," ungkap Anton melalui sambungan telepon, Kamis, 13 Oktober 2023. 

Ia lantas membuat inovasi baru agar bisa getuk dikenal, lantaran memang potensi sumber daya singkong di Magelang besar. Untuk inovasi ia mengubah getuk singkong jadi berbentuk keripik. "Kita mulai 2019, melihat potensi peluang Magelang sebagai daerah wisata jadi daya belinya cukup besar," tukas Anton. 

Untuk pengolahannya getuk singkong didinginkan terlebih dulu agar mengeras dan bisa diiris tipis-tipis menjadi keripik lalu digoreng. Setelah itu ada proses berbeda, ada yang langsung digoreng dan ada yang dijemur. Untuk getuk yang langsung digoreng rasa getuknya masih terasa, tapi kelemahan kadar minyak terlalu tinggi, daya tahan dalam kondisi tertutup dua bulan.

Pengolahan Getuk Singkong Jadi Keripik

Geprania, oleh-oleh getuk singkong dalam bentuk keripik
Geprania, oleh-oleh getuk singkong dalam bentuk keripik. (Dok: Instagram Geprania)

Jenis getuk singkong yang mentah, setelah diiris lalu dijemur tapi tidak digoreng dan dijual dalam bentuk mentah.  Pertimbangan Anton membuat produk dengan dua jenis yang langsung bisa dikonsumsi dan masih mentah adalah alasan cuaca dan musim hujan sehingga tak mungkin menjemur produknya. 

"Getuk singkong ini dijemur sampai kering betul, ini yang dalam jangka waktu lama 1 tahun disimpan tidak masalah," sambung Anton. 

Dari segi rasa, getuk singkong yang sudah berubah dalam bentuk keripik tetap terasa seperti halnya getuk singkong. Meski tak mendapati tekstur getuk singkong, tapi inovasi ini bisa jadi cara untuk mengenalkan getuk singkong ke generasi muda agar kuliner lokal tidak punah.

Apalagi konsumen juga ditawarkan dengan beragam rasa dengan kombinasi 6 varian yang mengikuti selera. Saat ini Geprania menurut Anton masih fokus pada produk getuk singkong, tapi tak menutup kemungkinan produknya akan berkembang dengan menggunakan bahan baku makanan lokal yang melimpah di Magelang dan sekitarnya.

Anton pun sudah berekspansi, kerja sama dengan toko oleh-oleh di Yogyakarta, ritel modern, Bandara dan kini sudah menjangkau juga Semarang. Untuk melebarkan sayapnya Geprania juga sempat ikut mempromosikan keripik getuk singkong ke Malaysia di dua kota yakni Malaka dan Johor Baru.

Sebagai pengusaha di bidang kuliner, Anton mengaku mendapat banyak dukungan dari pemerintah kabupaten/kota maupun instansi kementerian terkait. Ia sempat mengikuti pelatihan untuk mendapatkan sertifikal halal, BPOM, dan termasuk inkubasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di wilayah Borobudur sebagai salah satu dari 5 Destinasi Super Prioritas. 

 

Infografis Etika Makan Fine Dining
Infografis Etika Makan Fine Dining. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya