Liputan6.com, Jakarta - Rata-rata orang mengonsumsi sekitar 5 gram plastik setiap minggu, setara dengan berat sebuah kartu kredit menurut penelitian terbaru dari University of Newcastle yang bekerja sama dengan WWF Singapura. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa setiap tahun, manusia mengonsumsi sekitar 100 ribu potongan kecil plastik, yang setara dengan 250 gram.
Penemuan mengejutkan itu diungkapkan oleh Aditya Bayunanda, CEO Yayasan WWF Indonesia, yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi Green Press Community (GPC) yang diadakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, pada Kamis, 9 November 2023.
Baca Juga
"Sebetulnya plastik memiliki dampak langsung terhadap kesehatan manusia. Meskipun belum dapat dibuktikan secara medis, kita perlu menyadari bahwa plastik tidak dapat terurai secara alami di lingkungan," terangnya dalam diskusi bertema "Narasi, Inspirasi dan Kebijakan dalam Pengelolaan Sampah Plastik di Perkotaan" saat itu.
Advertisement
Sebagai ilustrasi, sambungnya, jika Anda menanam sebuah karton plastik di tanah, sekitar 100 tahun kemudian, karton plastik tersebut masih akan tetap dalam bentuk plastik. "Oleh karena itu, bisa diambil kesimpulan bahwa mikroplastik yang ada dalam tubuh kita juga kemungkinan tetap akan seperti itu. Bisa kita logikakan seperti itu saja."
Penemuan ini memiliki signifikansi penting dalam pemahaman dampak polusi plastik terhadap kesehatan manusia. University of Newcastle merupakan universitas pertama yang menggabungkan data dari lebih dari 50 penelitian global mengenai konsumsi plastik oleh manusia.
Darimana plastik itu berasal? Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa mikroplastik mencemari udara, makanan, dan air yang dikonsumsi oleh manusia. Sumber utama konsumsi plastik secara global adalah melalui air, baik dari botol plastik maupun air keran.
Mengatasi Sampah Plastik Masih Terbatas
"Bahaya plastik terhadap kesehatan manusia mungkin belum mendapatkan eksposur yang cukup. Plastik dalam air memiliki beragam dampak kesehatan yang mungkin termasuk penyakit seperti kanker, tumor, dan masalah kesehatan lainnya," tutur Aditya.
Menurutnya, sampah plastik harus dianggap sebagai masalah kesehatan, bukan hanya sebagai isu lingkungan semata yang perlu ditangani. Robby Irfani Maqoma, editor lingkungan The Conversation Indonesia menambahkan agar perlu mengatasi "gap" wacana polusi plastik di Indonesia.
"Upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi masalah sampah plastik masih terbatas, karena tindakan yang mereka lakukan cenderung bersifat lokal dan belum menemukan alternatif yang dapat menggantikan plastik," paparnya.
Peran jurnalis, sambung dia, menjadi sangat penting dalam mendorong perubahan. Dikatakan, mereka dapat berperan sebagai advokat di tingkat hulu dan tengah, membantu mengidentifikasi masalah, menginformasikan publik, dan memicu tindakan.
"Selain itu, jurnalis juga berperan dalam komunikasi risiko terkait polusi plastik di tingkat hilir," sampainya. Mengapa advokasi? Karena upaya ini bertujuan untuk mencegah pembebanan tanggung jawab yang berlebihan pada konsumen, yang pada akhirnya dianggap sebagai "korban" dalam permasalahan ini.
Advertisement
Semua Tergantung Pola Pikir
"Sebaliknya, perlu mengarahkan perhatian dan tuntutan kepada pemegang peran sentral dalam masalah sampah plastik, yaitu pemerintah dan produsen," kata Robby. Dengan mengadvokasi dan memfokuskan upaya pada pemerintah dan produsen, diharapkan dapat terwujud perubahan yang lebih signifikan dalam mengatasi polusi plastik di Indonesia.
Merespons hal tersebut, Director of Center for Sustainability and Waste Management Universitas Indonesia Mochamad Chalid kembali menekankan peran sentral daur ulang, khususnya daur ulang sekunder di Indonesia dalam mewujudkan ekonomi sirkular sekaligus mengatasi masalah sampah plastik. Data 2017 menemukan bahwa rata-rata orang Indonesia menghasilkan 19,5 kilogram sampah plastik per tahun.
Ada empat tipe daur ulang yang disampaikan oleh Chalid, mengutip dari presentasi yang disampaikannya. Terdapat daur ulang primer, sekunder, tersier, dan kuartener yang masing-masing memperlakukan sampah dengan berbeda.
- Daur ulang primer, melibatkan penggunaan kembali sampah plastik dalam sistem produksi dengan kualitas yang masih baik, meskipun sistem produksinya mungkin tidak optimal dari segi efektivitas dan efisiensi. Meskipun memiliki potensi untuk mempertahankan kualitas, proses produksi mungkin tidak sepenuhnya efisien.
- Daur ulang sekunder, memiliki kelebihan melibatkan berbagai pihak, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan menghasilkan emisi karbon yang rendah. Meski demikian, kualitas sampah plastik mungkin rendah, dan mencapai tingkat kesadaran serta perilaku positif dari berbagai pihak menjadi suatu kebutuhan yang penting. Menurut Chalid, daur ulang tipe ini yang lebih cocok diterapkan di Indonesia.
4 Tipe Daur Ulang
-
Daur ulang tersier, memproses hampir semua sampah plastik dengan emisi karbon rendah. Meskipun memiliki keunggulan dalam aspek emisi karbon, risiko pengabaian terhadap sampah plastik bernilai tinggi dapat muncul, dan keterlibatan serta dampak ekonominya cenderung terbatas.
-
Daur ulang kuartener, mampu memproses seluruh jenis sampah plastik, namun cenderung mengabaikan sampah plastik bernilai tinggi. Meskipun proses ini memiliki keterlibatan dan dampak ekonomi yang terbatas, emisi karbon yang dihasilkan cenderung relatif tinggi karena dilakukannya pembakaran sampah.
"Jika kita membahas mengenai daur ulang, apa implikasinya? Daur ulang akan jauh lebih efisien dalam penggunaan sumber daya alam, karena proses eksplorasi untuk menciptakan produk baru menjadi lebih sederhana," ucapnya.
Chalid menjelaskan, dengan menggunakan sampah sebagai bahan baku daur ulang, baik untuk menciptakan produk yang berbeda atau produk yang sama, masyarakat dapat mengurangi penggunaan sumber daya alam. "Selain itu, ini juga dapat membantu menghemat energi."
Advertisement