Liputan6.com, Jakarta - Tarif pajak hiburan yang berkisar 40-75 persen sedang jadi isu panas. Dimulai dari teriakan lantang Hotman Paris Hutapea, pemilik usaha beach club di daerah Canggu, Bali, lewat media sosialnya. Ia gusar karena usahanya termasuk dalam objek pajak hiburan minimal 40 persen berdasarkan aturan baru dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
"Apa ini benar! ? Pajak 40 persen? Mulai berlaku januari 2024?? Super tinggi? Ini mau matikan usaha?? Ayok pelaku usaha teriaaakkk(Kelangsungan industri pariwisata di Indonesia terancam)," tulisnya ulang dalam unggahan di Instagram @hotmanparisofficial pada 6 Januari 2024.
Baca Juga
Omelan Hotman sempat ditanggapi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam Weekly Brief with Sandi Uno pada Rabu, 10 Januari 2024. Ia menyebut tarif baru pajak hiburan tidak akan mematikan usaha sektor pariwisata. Pernyataan itu langsung disanggah Inul Daratista di media sosial.Â
Advertisement
"Baca ini kok aku jadi heran yo, gak mematikan gimana 40-75%? Itungane piye (hitungannya gimana)? Dibebankan ke costumer?" keluh Inul Daratista pada Kamis, 11 Januari 2024.
Gelombang protes makin kencang dengan 22 orang mengajukan judicial review atas pasal terkait ke Mahkamah Konstitusi. Ketua Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI) Mohammad Asyhadi mengatakan, "Kami mewakili penggugat ada 22 orang, baik di Jakarta maupun di Bali, kami sepakat untuk melakukan judicial review sehingga pada 3 Januari kita ke MK, kemudian diterima secara resmi itu 5 Januari 2024."
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) pun bereaksi. Sekjen PHRI Maulana Yusran mengingatkan bahwa kenaikan pajak tersebut akan memberatkan pemilik bisnis dan justru akan menghambat penyerapan tenaga kerja dan berpengaruh ke banyak sektor.
"Pariwisata itu bisnis kolaborasi, kalau bicara itu berarti ekosistemnya banyak, bukan hanya hotel dan restoran, ada hiburan dan transportasi. Hiburan salah satu bagiannya dan itu aspek interest atraksi di sebuah destinasi," ungkap Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa, 16 Januari 2024.Â
 "Jadi kalau hiburan tidak kompetitif, maka akan berdampak pada banyak aspek," sambungnya lagi.
Â
Minta Isu Tak Dieskalasi
Tak ingin isu semakin menjadi bola liar, Menparekraf pun meminta semua pihak mengedepankan narasi positif. Ia mengamini bahwa isu tersebut akan berdampak langsung pada sektor pariwisata Indonesia, termasuk membuat wisatawan asing enggan berkunjung. Padahal, pemerintah sudah menargetkan kenaikan kunjungan wisman 14,3 juta orang pada 2024, meningkat dari capaian 11 juta orang pada 2023.Â
Ia berharap semua pihak tidak terlalu berpolemik yang menimbulkan persepsi negatif. "Saya khawatir kalau kita terus mengeskalasi ini, akhirnya nanti wisatawan melihat ada situasi yang tidak kondusif di Indonesia, apalagi sekarang kita menjadi sorotan setelah kita berhasil bangkit," kata Sandiaga seusai Weekly Brief with Sandi Uno (WBSU) di Jakarta, Senin, 15 Januari 2024.
Ia meminta semua pihak mempromosikan bahwa pariwisata Indonesia berkualitas dan berkelanjutan. Sejauh ini, pihaknya fokus menyosialisasikan pajak wisata sebesar Rp150 ribu untuk wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali. Aturan itu mulai berlaku pada 14 Februari 2024.
"Di samping itu, tidak ada lagi tambahan per hari ini dan tidak ada kenaikan dari jasa-jasa pariwisata yang ditawarkan selama mereka berwisata, sembari kita menunggu dan menata kembali sektor hiburan parekraf," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga ikut buka suara mengenai keluhan besaran tarif pajak hiburan yang naik. "Nanti saya monitor dan saya sampaikan ke pemerintah daerah," kata Menko Airlangga dikutip dari Antara, Senin, 15 Januari 2024.
Advertisement
Diimbau Hormati Proses Hukum di MK
Di sisi lain, Sandiaga mengimbau agar pemerintah daerah tidak buru-buru menerapkan aturan baru pajak hiburan menurut pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Pasalnya, sejumlah pihak, terutama pengusaha spa, sedang mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Prosesnya ini baru 3 Januari dimasukkan dan sedang dipersiapkan jadwal pembahasannya. Jadi, mohon kita bersabar dan di saat yang sama, mari kita gunakan kesempatan ini untuk berdiskusi mencari sebuah solusi yang memajukan industri parekraf, tetapi juga bisa membantu memperkuat keuangan negara," ucap Sandi.
Sandi menyatakan yang bisa dilakukan Kemenparekraf saat ini adalah menyuarakan, memfasilitasi, dan berkolaborasi dengan Pemda sembari menunggu putusan MK atas judicial review yang dilakukan. Ia mengingatkan bahwa pariwisata Indonesia harus berdaya saing sehingga mampu menarik wisatawan-wisatawan yang berdampak pada ekonomi lokal dan penciptaan lapangan kerja.
"Kalau usahanya dibebani terlalu besar pajaknya, ini enggak sehat, enggak kondusif. Jadi, harus dicari suatu titik equlibrium di mana mereka bisa berusaha, tetap membuka lapangan kerja, tapi juga membayar komitmen terhadap penerimaan negara," katanya.
Faktanya, sejumlah daerah sudah mengeluarkan perda terkait hal itu. Ia menyebut Badung, Tabanan, Gianyar, dan Kota Denpasar sebagai daerah yang menetapkan besaran pajak hiburan 40 persen.
"Tapi, saya sangat menyarankan dan nanti kita jadi bahasan dalam diskusi ini bahwa sembari kita menunggu hasil judicial review di MK, ini kita diskusikan dulu dengan para pelaku usaha," sahutnya lagi.
Alasan Pemerintah Tetapkan Besaran Pajak Hiburan 40 Persen
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu, Lydia Kurniawati Christyana, akhirnya membeberkan alasan Pemerintah menaikkan tarif pajak hiburan dengan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen untuk hiburan tertentu, meliputi diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Lydia menjelaskan, kenaikan tersebut mempertimbangkan bahwa jasa hiburan tersebut di atas pada umumnya hanya dikonsumsi masyarakat tertentu. "Jadi, untuk yang jasa tertentu tadi dikonsumsi masyarakat tertentu, bukan masyarakat kebanyakan. Oleh karena itu, untuk mempertimbangkan rasa keadilan," kata Lydia dalam media briefing Pajak Hiburan, di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa, 16 Januari 2024.
Karena alasan keadilan, ia menyatakan penetapan tarif batas bawah dan atas jenis tersebut diperlukan untuk mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha.
Lydia mengklaim saat penetapan tarif pajak hiburan diambil, pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan, dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara.
"Pemerintah itu tidak sendiri memutuskan dalam penetapan tarif ini. Pemerintah bersama dengan legislatif. Jadi, eksekutif dan legislatif itu telah mempertimbangkan berbagai masukan dari berbagai pihak," katanya.
Namun, Menparekraf rupanya memiliki usulan berbeda. Menurut dia, usulan besaran yang ideal semestinya tidak terlalu jauh dari negeri tetangga. Ia mencontohkan Singapura saat ini menetapkan pajak hiburan 15 persen tanpa dibebani biaya ekstra lainnya.
"Mestinya enggak terlalu jauh dari mereka, yaitu 20--25 persen. Mungkin itu yang pas untuk industri," katanya. Sementara, PHRI Bali mengusulkan 15 persen sebagai angka ideal untuk tarif pajak hiburan, termasuk spa.
Advertisement