Liputan6.com, Jakarta - Kasus kekerasan domestik, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau bentuk kekerasan lain terhadap perempuan masih jamak terjadi di Indonesia. Dalam Catahu Komnas Perempuan 2023, 339.782 pengaduan yang tercatat adalah kekerasan berbasis gender (KBG). Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan dengan persentase mencapai 99 persen atau 336.804 kasus.
Masalah itu bisa ditekan bila ada dukungan nyata dari berbagai pihak, termasuk di tempat kerja. Hal itu pula yang disadari L'Oreal Indonesia dengan meluncurkan kebijakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga (Domestic Violence Policy) sejak awal 2023. Kebijakan itu bertujuan membantu penanganan dalam kasus KDRT yang dialami karyawannya.
Baca Juga
"Itu sih memang urusan rumah tangga, tapi itu karyawan kita juga. Kalau kenapa-napa, kita kan sudah investasi (pada dia). Kalau dia sampai pada tahap 'Tolong bantuin saya', tapi kalau enggak pernah lihat policy-nya, dia enggak tahu company bisa apa," ucap Yenita Oktora, Chief of Human Resources Officer L'Oreal Indonesia, dalam diskusi terbatas di Jakarta, Kamis, 14 Maret 2024.
Advertisement
Dukungan pertama yang diberikan adalah cuti khusus untuk memberikan kesempatan pegawai mengurus berbagai hal. Berikutnya adalah dukungan finansial darurat. Perusahaan akan meminjamkan uang untuk membantu perempuan yang kesulitan finansial karena aksesnya diputus oleh pasangannya.
"Ada yang bergaji tapi gaji enggak dipegang sendiri. Akhirnya, perempuan itu ketakutan kalau enggak tinggal di rumah, gimana dapat salary?" ucapnya.
Latih Tim Khusus untuk Pendampingan
Mereka juga akan memberikan bantuan hukum bagi karyawan yang membutuhkan. Namun, hal itu hanya bisa diberikan bila karyawan lah yang berinisiatif melapor kepada kantor. "Tapi, harus di-initiate karyawannya," Yeye menekankan.
Untuk itu, perusahaan membentuk tim khusus bernama Purple Troops untuk menangani masalah tersebut. Terdiri dari lima orang yang mayoritas berasal dari divisi SDM, mereka, kata Yeye, dibekali pelatihan tambahan agar tepat menangani laporan KDRT yang masuk.
"Tim ini sudah di-train oleh Yayasan Pulih. Belajar bagaimana berinteraksi kalau ada pelaku atau korban yang melapor. Harus hati-hati banget. Teknik pendampingannya enggak bisa sembarangan. Kalau sudah menemani, diarahkan ke pihak yang tepat," ia menjelaskan.
Pasalnya, korban KDRT memiliki siklus seperti lingkaran setan. Ada masa ia akan mengambil tindakan untuk mengakhiri hubungan yang toksik, tetapi kemudian tak melanjutkannya setelah pasangannya memperlakukannya dengan lebih manis di lain hari. Padahal, belum tentu pelakunya benar-benar insaf.
"Jadi, the control is within the employee," ujarnya.
Advertisement
PR Seputar Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Banyak
Di sisi lain, belum banyak perusahaan yang memiliki kebijakan spesifik terkait hal itu. Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Wita Krisanti menyatakan bahwa salah satu penghambatnya adalah norma dan nilai yang masih banyak memberi pemakluman pada perilaku tertentu lelaki.
"Seringkali lihat perempuan adalah subjek karena laki-laki dinormalisasi, boys will be boys, padahal itu termasuk kekerasan seksual. Spektrumnya kan besar, dari mengalami catcalling bahkan dari usia masih dini, sampai spektrum yang ekstrem," kata Wita.
Ketika dihadapkan kasus kekerasan, perempuan yang diduga menjadi korban akan lebih dulu dipertanyakan pengakuannya, bukan si pelakunya. Namun, perubahan sudah mulai terlihat terutama setelah Indonesia memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12/2022.
"Itu langkah maju, tapi PR-nya masih banyak. Menerjemahkan UU menjadi praktik di dalam perusahaan itu seperti apa. Penting sekali bagi perusahaan untuk memahami konsep gender, konsep yang didasari kekerasan gender," sambung dia.
Perusahaan Harus Berinisiatif
Bagaimana pun, kesadaran tentang kesetaraan gender di dalam perusahaan harus diinisiasi oleh perusahaan sendiri lewat perubahan paradigma, yakni menganggap bahwa karyawan adalah bagian dari investasi. "Saat sudah investasi, kalau korban jadi tidak produktif karena takut atau depresi, perusahaan kan yang akan mengalami juga dampaknya," ujarnya.
Di sisi berbeda, bila yang menjadi pelaku KDRT ternyata adalah karyawan, hal itu bisa berdampak pada citra perusahaan secara tak langsung. Karena itu, ia meyakini perusahaan bisa mengintervensi sesuai kapasitasnya untuk menyetop tindakan tersebut.
"Pelakunya tidak saja mengganggu ranah domestik, tapi juga bisa di tempat kerja. Kita harus beri ruang aman dan nyaman untuk pegawai lain melakukan tugasnya," kata dia.
Terlebih, UU TPKS juga menyebutkan perusahaan wajib untuk membentuk satgas penanganan kasus TPKS di tempat kerja. Menurut Wita, ada sanksi denda hingga Rp1,5 miliar yang menanti pelanggarnya. "Tapi, banyak bos enggak sadar," ucapnya.
Advertisement