Liputan6.com, Jakarta - Niat healing malah jadi pening. Fenomena macet di gunung sayangnya terus jadi sorotan dari waktu ke waktu, terutama di masa libur panjang. Dengan pengaturan kuota kunjungan, kondisi ini kok bisa terjadi?
Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP), Adhi Nurul Hadi, menjelaskan bahwa ada beberapa penyebab macet di gunung. Pertama, di beberapa titik sepanjang jalur pendakian, seperti jalur terjal, jalur penyeberangan air panas, dan jalur sempit yang hanya bisa dilewati beberapa orang, antrean mau-tidak mau muncul.
"Jalur terjal dan penyebrangan air panas diatur untuk dilalui secara bergiliran demi menjaga keamanan dan kenyamanan pengunjung," katanya melalui pesan pada Lifestyle Liputan6.com, Sabtu, 14 September 2024. "Sementara itu, antrean di jalur sempit berpotensi meningkat saat ramai atau terdapat beberapa grup pendaki dengan kecepatan tempuh yang rendah."
Advertisement
Ia menyambung, jumlah pengunjung bisa mencapai kuota maksimal selama akhir pekan, sehingga jalur pendakian jadi sangat padat. "Ini terutama pada hari Sabtu di mana kelompok pendaki akan berselisih jalur dengan kelompok pendaki yang baru turun dari puncak (berangkat hari Jumat)," ujar Adhi.
Di samping itu, ia mengatakan, fenomena macet di gunung juga terjadi karena ada pendaki yang menggunakan jalur ilegal dan tidak melakukan pendaftaran resmi. Senada dengan itu, Humas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Korina Tasya, menegaskan bahwa kondisi macet tidak terjadi setiap hari.
Antisipasi Kondisi Macet di Gunung
Korina berkata, "Macet terjadi hanya pada hari-hari tertentu, terutama saat libur panjang. Kemacetan biasanya terjadi pada pagi hari ketika pengunjung berbondong–bondong mencari spot terbaik untuk menikmati pemandangan matahari terbit. Kondisi tersebut akan berlangsung normal seiring naiknya matahari dan bergesernya pengunjung dari spot melihat sunrise."
Dalam antisipasinya, ia menyebut, TNBTS terus menerapkan kuota kunjungan per hari. Pihaknya juga menyiapkan kantong parkir kendaraan roda empat di titik-titik tertentu, terutama view point sunrise. Mereka pun berkolaborasi dengan forum Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat pada hari dan titik tertentu yang berpotensi mengalami kemacetan.
TNGGP menerapkan pendekatan serupa dengan kuota pendakian per hari. "(Kami) memberlakuan jadwal check-in dan check-out pada pintu-pintu pendakian untuk mengurangi kepadatan," imbuh Adhi. "(Kami juga) menyampaikan peraturan pendakian secara intensif melalui petugas, media sosial, dan papan informasi."
Pihaknya pun membangun pos-pos dan sarana lain untuk tempat istirahat, sehingga memberi jarak antargrup pendaki. Tidak ketinggalan, BB TNGGP melakukan pendekatan dan penindakan pada kelompok masyarakat penyedia jasa layanan pendaki yang memberi peluang terjadinya pendakian ilegal.
"(Kami) membangun sarana pembantu sepanjang jalur pendakian untuk mengurangi potensi kemacetan pendakian, seperti memasang tali pembantu pada jalur terjal dan penyebrangan air panas, dan menciptakan tangga alami pada jalur terjal."
Advertisement
Indikator Penetapan Kuota Pengunjung
Sementara itu, Kepala Pos Tawan Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen, Sigit Haribowo, mengatakan bahwa pihaknya menerapkan kajian daya dukung kawasan dalam mengantisipasi kondisi macet di gunung. "(Kami mengkaji) luas kawasan yang ada untuk mengetahui kemampuan kawasan yang layak menampung pengunjung dengan aman dan nyaman," ungkapnya melalui pesan, Sabtu, 14 September 2024.
Kepadatan, ia bercerita, memang sempat terjadi sebelum TWA Kawah Ijen menerapkan kuota kunjungan harian. "Tapi sekarang bisa dikontrol setelah ada kuota dua ribu pengunjung per hari," Sigit menyebutkan. Soal indikator penentuan kuota pengunjung per hari, pihaknya tidak semata mengandalkan kajian luas kawasan, namun mempertimbangkan waktu tempuh pendakian, serta membedakan kunjungan di hari biasa dan akhir pekan.
Mengamini itu, Korina mengatakan bahwa penentuan kuota kunjungan wisatawan di TNBTS disesuaikan daya dukung dan daya tampung kawasan. "Menurut UU No. 32 Tahun 2009," ia menyebut. "Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya."
"Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya." Kini, kuota kunjungan di kawasan Bromo, yakni 2.752 orang per hari, ia menambahkan.
Menghindari Kondisi Macet di Gunung
Di TNGGP, Adhi menjelaskan, kuota kunjungan ditentukan melalui kajian yang melibatkan akademisi dan tenaga ahli mountaineering. Indikatornya, yakni kondisi nilai penting kawasan: flora, fauna dan habitatnya, serta kondisi fisik lingkungan pada jalur pendakian dan area berkemah.
Kemudian, kenyamanan dan keamanan pendaki. "Jumlah jalur pendakian, serta kapasitas ruang, termasuk jalur pendakian dan area kemping, untuk masing-masing jalur pendakian. Lalu, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan pendakian, ketersediaan petugas pengamanan dan pengawasan, serta dinamika jumlah pendaki di masing-masing jalur pendakian pada periode sebelumnya," bebernya soal indikator penentuan kuota kunjungan.
Menghindari kondisi macet di gunung, anggota Komunitas Pendaki Gunung (KPG), Oki, menyarankan pendaki melakukan perencanaan yang baik. "Jangan mendadak," sebut dia melalui pesan, Jumat, 13 September 2024. "Kemudian, punya pilihan gunung yang akan didaki."
"Pilih gunung yang tidak populer atau jalur (pendakian) yang tidak populer. Misalnya, Linggasana Gunung Ciremai," ia mencontohkan. "Yang pasti, prepare jauh-jauh hari, selain bisa juga naik (gunung) di weekdays."
Wisata alam, seperti pendakian gunung, memang tentang menyeimbangkan kepentingan lingkungan dan manusia. Berlandaskan regulasi yang tegas dan berdampak, praktiknya tidak hanya melibatkan pengelola, tapi juga pengunjung dan masyarakat setempat.
Advertisement