Mereka Menyusul Rani Andriani?

Daftar panjang eksekusi mati sebagai ganjaran bagi terpidana kasus narkoba itu mengemuka. Mereka Rani Andriani selanjutnya?

oleh Muhammad AliRizki GunawanAndi Muttya KetengSilvanus AlvinTaufiqurrohman diperbarui 20 Jan 2015, 00:00 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2015, 00:00 WIB
Ilustrasi eksekusi penembakan
Ilustrasi eksekusi penembakan

Liputan6.com, Jakarta - Dor.. dor... dor.. Suara letusan peluru itu menjadi bukti bahwa Rani Andriani Cs telah mempertanggungjawabkan perbuatannya yang terlibat dalam jaringan peredaran narkoba. Ia bersama 5 orang lain rampung menjalani eksekusi mati pada 18 Januari 2015 pukul 00.00 WIB.

Wanita 38 tahun yang juga dikenal nama Melisa Aprilia itu menjalani hukuman mati di Lapas Pasir Putih di Pulau Nusakambangan, bersama Ang Kim Soei (62) warga negara Belanda, Namaona Denis (48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara Brasil dan Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria.

Kejaksaan Agung menghukum terpidana mati kasus narkoba lainnya, Tran Thi Bich Hanh (37) alias Asien warga negara Vietnam di Boyolali, Jawa Tengah.

Setelah Rani, daftar panjang penerima ganjaran bagi terpidana kasus barang haram itu mengemuka. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkapkan ada 66 terpidana mati kasus narkotika yang kini sedang menunggu untuk dieksekusi.

"Setelah eksekusi mati pada 6 narapidana, ada sekitar 66 terpidana lagi yang menunggu untuk dieksekusi," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN Kombes Pol Sumirat Dwiyanto di Jakarta, Sabtu 17 Januari 2015 lalu.

Sumirat menjelaskan, 66 terpidana mati tersebut berdasarkan hitungan jumlah tersangka yang dijatuhi vonis terberat oleh pengadilan hingga tahun 2014 sebanyak 64 orang dan 2 lainnya adalah tambahan setelah penetapan hukuman mati dijatuhkan pada 2 warga negara Iran di Pengadilan Negeri (PN) Cibadak.

Berdasarkan data yang didapat dari BNN, diketahui jumlah terpidana mati yang merupakan warga negara asing (WNA) ada 39 orang dan sisanya adalah WNI.

Data tersebut juga menyebutkan terpidana mati berkewarganegaraan asing yang mendominasi berasal dari negara-negara Afrika dan Asia dengan paspor Nigeria dan Malaysia yang menduduki tempat teratas dengan jumlah masing-masing 6 orang.

"Semua segera dilaksanakan (dieksekusi mati) setelah masalah hukum tuntas," tegas Jaksa Agung HM Prasetyo, di Kejaksaan Agung, Jakarta, Minggu 18 Januari.

Namun sebelum proses eksekusi mati berlangsung, Jaksa Agung memastikan hak hukum terpidana tidak tercederai. Selain itu, pengajuan grasi masih diperbolehkan dan hak presiden untuk menolak atau menerima. Atas dasar itu, daftar nama mereka yang menyusul Rani Andriani pun belum ditentukan.

'Bujuk Rayu' Pihak Asing

Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, eksekusi mati terhadap 6 terpidana kasus narkoba yang telah dilaksanakan adalah peringatan keras dari pemerintah bagi para pengedar barang haram tersebut.

Dia pun mengimbau kepada semua kalangan agar turut aktif mencegah peredaran narkoba. Menurut Prasetyo, pengedaran narkotika termasuk kategori kejahatan luar biasa. Sehingga harus ditangani dengan luar biasa juga.

Langkah eksekusi mati itu menuai pro dan kontra dari banyak pihak. Termasuk negara asal para terpidana yang menjalani hukuman tersebut.

Salah satu sikap kontradiktif datang dari Presiden Brasil Dilma Rousseff. Ia sempat mengajukan permohonan banding kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi demi meringankan Marco Archer Cardoso Moreira dan terpidana mati lainnya, Rodrigo Gularte -- yang segera divonis setelah eksekusi 18 Januari -- dari hukuman. Namun orang nomor satu di Tanah Air menolak permintaan tersebut.

"Lewat sambungan telepon, Presiden Jokowi menolak permohonan banding untuk Marco Moreira yang akan dieksekusi," demikian pernyataan tertulis Kantor Kepresidenan Brasil, seperti dikutip Liputan6.com dari Planalto.gov.br.

Menanggapi hal itu, Rousseff menyatakan, eksekusi mati terhadap Marco dan Rodrigo memberikan dampak negatif bagi hubungan bilateral antara Brasil dan Indonesia. "Dan juga memicu kemarahan di Brasil," demikian seperti dimuat dalam pernyataan tertulis dari Kantor Kepresidenan Brasil.

Pemerintah Belanda yang mengusahakan banding untuk Ang Kiem Soei, terpidana mati atas kasus kepemilikan 2 pabrik ekstasi juga menempuh sejumlah langkah untuk mencegah eksekusi mati tersebut. Salah satunya dengan menghubungi negara lain yang warganya juga dihukum mati.

"Kami berkoordinasi dengan semua pihak, baik internasional dan level otoritas tertinggi. Kami tengah berupaya mencegahnya," ujar Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders, seperti dikutip dari Daily Journal.

Dalam pemberitaan tersebut, juga dimuat bahwa Amnesti Internasional melontarkan protes atas hukuman mati di Indonesia lantaran langkah tersebut telah melanggar hak asasi manusia (HAM).

Upaya gagal kedua negara untuk 'merayu' Presiden ke-7 RI itu membuahkan penarikan duta besar mereka di Indonesia.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Armanatha Nasir mengatakan, pemanggilan dubes Brasil dan Belanda merupakan hak kedua negara.

Terkait nasib hubungan dengan 2 negara itu, Armantha menyebut, pandangan Indonesia terhadap Brasil dan Belanda tidak akan berubah. Kedua negara tetap sahabat Indonesia.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan ada 3 negara yang meminta dirinya membujuk Presiden Jokowi untuk memberikan grasi kepada warga negaranya yang menerima hukuman mati.

Beberapa WNA sudah masuk daftar eksekusi. Dua di antaranya adalah warga negara Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Keduanya merupakan anggota kelompok penyelundup narkoba 'Bali Nine'. Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott pun mengirim surat resmi kepada Jokowi untuk melobi agar eksekusi ditangguhkan.

Terkait hal itu, Wakil Ketua Komisi I Bidang Hubungan Internasional DPR, Tantowi Yahya, mengingatkan Jokowi untuk tetap konsisten pada keputusannya, menolak grasi terpidana mati gembong narkoba. Dia berharap, surat PM Australia itu tak menghambat eksekusi mati yang sudah ditetapkan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Respons Jokowi

Presiden Jokowi meminta negara lain menghormati sistem hukum di Indonesia. Menurut Jokowi pelaksanaan sistem hukum di Indonesia merupakan bagian dari kedaulatan negara. Pernyataan ini disampaikan Jokowi terkait respons Belanda dan Brasil, yang menarik duta besar mereka pasca-eksekusi mati warga mereka karena kasus mafia narkoba.

Ia mengungkapkan, sebelum eksekusi berlangsung, dia ditelepon penguasa Kerajaan Belanda, Raja Willem-Alexander, yang meminta agar Ang Kiem Soei tidak dieksekusi mati. Telepon serupa juga diterima Presiden Jokowi dari Presiden Brasil, Dilma Rousseff. Dilma meminta agar Pemerintah Indonesia tak menghukum mati warganya, Cardoso Moreira.

Menjawab telepon 2 penguasa itu, Presiden Jokowi mengatakan, keputusan hukuman mati merupakan putusan pengadilan di Indonesia. Presiden meminta agar keduanya menghormati keputusan tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara.

Suami Iriana Widodo itu juga menegaskan akan serius memerangi mafia narkoba yang telah merusak anak bangsa.

"Perang terhadap Mafia Narkoba tidak boleh setengah-setengah, karena Narkoba benar-benar sudah merusak kehidupan baik kehidupan penggunanya maupun kehidupan keluarga pengguna narkoba," tulis Jokowi dalam laman Facebook pribadinya. (Tnt/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya