Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri kembali memeriksa mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana atas kasus dugaan korupsi dalam pembayaran online untuk pembuatan paspor atau payment gateway di Kementerian Hukum dan HAM pada 2014. Denny yang sudah berstatus sebagai tersangka ini tiba di gedung Bareskrim Polri sekitar pukul 13.45 WIB.
Denny mengatakan, pemeriksaannya kali ini hanya sebatas melengkapi pemeriksaan yang sudah dilakukan sebelumnya.
"Pemeriksaan keenam. Ini hanya melengkapi saja dan memberikan sidik jari dan foto," kata Denny usai diperiksa penyidik di gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu (29/7/2015).
Denny menegaskan, tidak melakukan penunjukan langsung vendor dalam proyek tersebut. Proses pengadaan sudah dilakukan dengan benar dan sesuai dengan aturan hukum.
"Saya dikatakan menunjuk langsung vendor. Itu tidak betul. Yang saya sampaikan kepada teman-teman yang melakukan proses pengadaan adalah lakukan dengan benar, sesuai aturan hukum," tambah dia.
Pengacara Denny, Heru Widodo mengatakan, hari ini sebenarnya penyidik juga menghadirkan saksi ahli meringankan bagi kliennya. Namun, hal itu batal dilakukan.
"Selanjutnya kita tunggu bagaimana proses berikutnya setelah penyidik meminta keterangan ahli yang kita ajukan. Kami berharap keterangan saksi ahli nanti penyidik mendapat masukan yang lebih komprehensif dan objektif sehingga kita ada harapan gelar perkara ulang," kata Heru.
Denny Indrayana dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 dan Pasal 23 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara maupun setiap orang yang menyalahgunaan kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar. (Mvi/Mut)