Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasangan calon tunggal aneh. MK memutus, bahwa mekanisme pemilihan pilkada yang hanya terdapat pasangan calon tunggal dilakukan dengan 'setuju' atau 'tidak setuju'.
"Aneh. Karena putusan itu seperti tambahan subtansi. Karena membuat aktivitas baru dalam sebuah keputusan, padahal MK ini kan menguji, bukan membuat aturan sendiri. Ini yang agak ruwet," ujar Cak Imin di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Kamis (1/10/2015).
Baca Juga
Namun begitu, lanjut Cak Imin, putusan MK ini sudah final dan mengikat. Artinya, harus dijalani. Meski penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengubah peraturannya guna mengakomodir putusan MK ini.
Advertisement
"Ya ini keputusan final, harus dijalani. Meski ada pasal baru yg membuat kegiatan baru yang sebetulnya bukan kewenangan MK. Tapi karena itu sudah keputusan ya apa boleh buat," ujar mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini.
Padahal, lanjut Cak Imin, adanya pasangan calon tunggal ini menjadi pengalaman baru. Yang mana seharusnya dilakukan perubahan undang-undang, bukan melalui pengujian materi ke MK.
"Calon tunggal itu jadi pengalaman baru. Yang harus dilakukan itu perubahan undang-undang. Bukan melalui pengujian undang-undang," kata Cak Imin.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).
Permohonan itu digugat oleh Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru yang mempermasalahkan syarat minimal 2 pasangan calon, sementara sejumlah daerah masih terdapa 1 pasangan calon saja alias pasangan calon tunggal.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Konstitusi berpendapat, bahwa pilkada yang hanya diikuti pasangan calon tunggal, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk menentukan pilihannya dengan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal tersebut. Bukan dengan pasangan calon kotak kosong sebagaimana dikonstruksikan oleh Pemohon.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, jika ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak setuju', maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.
Majelis Hakim menilai, penundaan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara 'tidak setuju' tersebut. (Ali/Nda)