Kisah Getir Manusia Bajaj Berjuang Sekolahkan Anaknya

Sama seperti hari-hari biasanya, jelang tengah malam, Iwai mengajak Amat tidur ke Bajaj yang menjadi rumah mereka.

oleh Muslim AR diperbarui 28 Sep 2016, 07:10 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2016, 07:10 WIB
Riwahyudin (54) dan putranya Muhammad Irwan atau Amat yang tinggal di bajaj
Riwahyudin (54) dan putranya Muhammad Irwan atau Amat yang tinggal di bajaj (Liputan6.com/ Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - "Bapak tukang kibul, bohong melulu, sudah deh pak, enggak usah bohong terus," ujar Amat kepada bapaknya.

Amat, bocah 11 tahun yang hidup sejak kecil di dalam Bajaj itu, sudah empat tahun dijanjikan bersekolah oleh sang ayah, Riwahyudin.

Riwahyudin hanya seorang sopir yang tinggal di Bajaj sewaan. Pria 54 tahun itu membesarkan anaknya yang bernama lengkap Muhammad Irawan itu seorang diri.

"Saya cuma mengelus dada, mau nangis tapi enggak bisa. Saya terima aja dikatain kayak gitu," kata Riwahyudin, memulai kisah perjuangannya selama empat tahun untuk menyekolahkan anaknya, kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa, 27 September 2016.

Entah haru atau bangga, Iwai, panggilan akrab lelaki berambut gondrong itu melanjutkan perjuangan untuk anaknya itu. Akhir Juli lalu, ia mengantarkan anak lelakinya ke sekolah.

"Malam itu juga, saya cariin baju, sepatu, sama tasnya. Saya punya tabungan cuma satu juta, saya habisin semua," kata Iwai dengan mata berkaca-kaca.

Sama seperti hari-hari biasanya, jelang tengah malam, Iwai mengajak Amat tidur ke Bajaj yang menjadi rumah mereka.

Namun, malam itu ada pemandangan berbeda. Iwai membawa baju, tas, sepatu, buku, dan bedak. Amat ternganga.

"Mulutnya sampai enggak ketutup, dia enggak bilang saya tukang kibul lagi," kata Iwai.

Khawatir bangun kesiangan, Iwai menyuruh Amat tidur lebih dulu. Di bangku bajaj bagian penumpang, Amat lelap dengan mimpi dan kebahagiaannya.

Sementara, Iwai resah menunggu pagi. Antara percaya dan tidak, akhirnya ia mampu menepati janjinya, meski terlambat menyekolahkan buah hatinya.

"Girangnya bukan main, saya aja enggak tidur malam itu," Iwai mengenang.

Pagi buta, sebelum macet mewarnai jalanan Ibu Kota, Iwai membangunkan Amat. Dia mengajak anaknya mandi di SPBU kawasan Senen, Jakarta Pusat.

Usai mandi, Amat pun memakai baju sekolah warna putih-putih hadiah sang ayah. Tak lupa, Amat juga memakai sepatu dan tas. Bahkan, Iwai pun sedikit memoles wajah sang anak dengan bedak.

"Senin wajib pakai itu. Seumur-umur, itu saya bedakin, itu bedaknya masih ada," ujar Iwai sambil mengeluarkan bedak dari dalam kotak kecil di samping kemudi Bajaj.

Senyum Iwai tak surut. Hingga gerbang sekolah, ia masih memandangi anak semata wayangnya itu. Hari itu menjadi hari pertama Amat sekolah.

"Dia pengin jadi pilot, udah empat tahun bilang mau sekolah. Pagi itu, kesampaian juga. Seharian saya enggak narik, senyum-senyum sendiri di gerbang sekolah, nungguin Amat pulang," tutur dia.

Ditinggal Istri

Perjuangannya tak mudah. Iwai sempat tertegun beberapa saat, sebelum ia mulai bercerita kembali. Ia tak habis pikir Bajaj sewaan itu ia jadikan rumah sejak 10 tahun lalu.

"Saya dulu punya rumah, dihuni orangtua, lalu saya nikah dan ngontrak," ujar dia.

Setelah sang istri melahirkan Amat, badai menerjang biduk rumah tangga Iwai. Genap setahun usia anaknya, sang istri kabur dengan lelaki lain.

"Ya Allah, saya enggak tahu mau diapain ini anak bayi, istri saya kabur," ucap Iwai menahan geram.

Di saat yang sama, sewa kontrakan Iwai sudah habis. Ia lalu membawa Amat ke orangtuanya, tapi badai cobaan kembali menerpa. Orangtua Iwai meninggal dan rumah orangtuanya di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, dijual saudaranya.

"Cuma itu warisan, dijual juga. Lengkap deh, saya enggak punya rumah, ada bayi merah, kontrakan enggak ada," kata Iwai.

Iwai pun terpaksa membawa Amat yang masih berusia setahun itu, ke mana pun ia pergi mengantar penumpang Bajaj.

Azan Subuh

Iwai sempat berpikir ingin menitipkan Amat kepada saudaranya atau menitipkan ke panti asuhan. Bahkan, membuangnya.

"Tapi, semua pikiran buruk itu lenyap pas azan subuh," ucap Iwai.

Usai azan subuh menggema di sekitar Stasiun Cikini, Jakarta Pusat, Iwai bergegas ke masjid sambil menggendong Amat. Pulang dari masjid, dia melihat lelaki membuang tripleks.

"Nah, di sana awalnya, saya minta tripleksnya, saya taruh di dekat kemudi. Eh, pas, saya taruh Amat di samping kemudi, terus paginya saya narik," kata Iwai.

Sejak saat itu, ke mana pun pergi mengantarkan penumpang, Iwai mengajak Amat yang masih belum bisa berdiri itu. Alhasil, tidak jarang penumpang menanyakan keberadaan sang anak.

"Sempat kepikiran juga, saya sempat cari (istri) Tapi, waktu itu dengar kabar, kalau ibunya Amat meninggal, mayatnya katanya ditemuin di sono," beber Iwai seraya menunjuk ke ujung Stasiun Cikini.

Membesarkan Amat bukan perkara mudah. Sebab, sang anak masih butuh air susu ibu atau ASI. Ia juga tak punya uang untuk membeli susu. Alhasil, Iwai terpaksa memberikan air gula untuk buah hatinya.

"Susu mah mahal, ya sudah, saya kasih botol dot, isinya air hangat yang dicampur sama gula," kata dia.

Mat Kentut

Tahun berlalu, Iwai jadi terkenal di antara penarik Bajaj. Rekan rekan sejawatnya kagum melihat sosok Iwai ayah yang tangguh, gigih, sekaligus humoris.

"Itu aki-aki paling senior di sini (Stasiun Cikini), semua sudah tahu gimana dia ngebesarin anaknya si Amat. Dia dipanggil Mat Kentut di sini, paling lucu dah, kalau enggak ada dia enggak ramai," kata Wawan, penarik Bajaj yang sudah delapan tahun mengenal Iwai.

Iwai dan Amat lebur dalam sibuknya kawasan Cikini. Pagi-pagi yang sibuk membuat orang-orang tak sadar selama bertahun-tahun, bahwa ada sosok ayah dan anak lelaki yang hidup di Bajaj.

Hingga usia Amat menginjak tujuh tahun, saat itulah perjuangan Iwai baru dimulai. Amat meminta bersekolah, ia iri dengan teman-teman sebayanya yang sudah memakai seragam sekolah.

"Itu dia, saya udah coba daftarin Amat buat sekolah sejak 2012, apesnya saya enggak punya surat-surat lagi, rumah udah dijual. Surat-surat entah kemana. Akte, surat nikah, KTP atau apapun saya enggak punya," tutur Iwai.

Pada 2012, Iwai memulai perjuangannya. 'Manusia Bajaj' meminta pertolongan kepada ketua RT tempat rumah orangtuanya tinggal. Ia pun mendapat surat pengantar, tapi sampai di kelurahan ia terbentur birokrasi.

"Sudah berkali-kali, dari RT ke RW, nyampe di lurah, enggak bisa ngurus KTP," kata dia.

Empat tahun berlalu, setiap tahun ajaran baru Iwai terpaksa membohongi Amat. Ia terus menjanjikan akan menyekolahkan anaknya itu. Semua usaha sudah ia coba tapi hasilnya sama. Ia tak bisa membuat dokumen untuk syarat sekolah anaknya.

"Akhirnya, pas lagi nunggu penumpang di dekat kantor Wali Kota Timur, saya ketemu teman yang kerja di sana," ujar Iwai sambil tersenyum.

Teman Iwai membantu dan surat-surat pun lengkap. Ia sangat berterima kasih kepada temannya yang bekerja di kantor Wali Kota Jakarta Timur.

Usai surat lengkap, Iwai mendaftarkan anaknya ke sekolah. Beberapa sekolah ia datangi. Tapi sayang, sistem penerimaan siswa baru yang berbasis teknologi dan terhubung ke jaringan internet, membuat Iwai bingung.

Daftarnya kan online. Saya enggak ngerti, punya HP juga buat nelepon doang," kata dia.

Iwai tak putus asa. Sekolah-sekolah dasar ia datangi. Hingga sampai di gerbang Sekolah Dasar Negeri 05 Gondangdia, Jalan Probolinggo, Jakarta Pusat.

"Awalnya saya ragu, karena udah ditolak banyak sekolah. Apalagi Amat udah 11 tahun, eh tahunya di sana saya dibantu buat ngurusnya," kata Iwai tersenyum lebar.

Segala persyaratan sekolah pun rampung. Iwai menjemput Amat yang sedang main di Stasiun Cikini dan kembali menarik Bajaj. Beberapa hari setelah mendaftar, Iwai khawatir pihak sekolah menolak anaknya.

Iwai sengaja tidak memberitahukan Amat kalau ia sudah mendaftar ke sekolah. Seminggu berlalu, dia makin gusar lantaran tak ada kabar. Namun kabar baik datang dari seorang temannya.

"Woi, lu dicariin orang, dia nyari lu terus ke Cikini," kisah Iwai saat bertemu temannya di Pasar Senen.

"Siapa yang nyariin, gue enggak bawa bini orang, gue juga bukan kriminal kayak lu," balas Iwai, gurau.

Iwai mengira temannya hanya bercanda. "Eh, dia nyamperin terus. Sampai di lampu merah Matraman, dia bilang yang nyariin itu guru sekolah."

"Saya gemetar, dia bilang anak saya bisa sekolah," sambung Iwai dengan wajah memerah.

Jelang siang, ia mendatangi sekolah. Iwai dapat kepastian, dan menanyakan apa saja yang harus disiapkan sebelum anaknya masuk sekolah.

"Saya langsung ngambil tabungan, semuanya buat Amat, baju warna putih-putih Senin. Baju merah putih Selasa, pokoknya semua yang dia perlu deh, saya sudah catat semua keterangan gurunya," kenang Iwai.

Anak Kebanggaan

Kini, Amat sudah dua bulan bersekolah. Ia masih kelas satu SD. Namun, Iwai selalu berpesan setiap paginya pada Amat, agar ia tak usah minder dengan teman-temannya.

"Kamu kebanggaan bapak," kata dia setiap pagi ke telinga putranya itu.

Amat dan Iwai malam ini tak lagi bertarung dengan dinginnya angin malam. Mereka sudah memiliki rumah kontrakan berkat seorang dermawan.

"Saya mau narik dulu, nanti ke sini lagi," kata Iwai saat hendak mencari penumpang.

Azan magrib berkumandang di Stasiun Cikini. Iwai pun berlalu. Seorang ayah berpenghasilan Rp 30 ribu per hari itu berjanji pada dirinya sendiri, Amat harus bisa menjadi pilot.

Setidaknya berjanji selama masih menghirup udara, Iwai akan terus berjuang demi Amat.

"Saya narik sampai capek, sekarang ampe setahun ke depan, kan udah ada kontrakan, jadi enggak ada alasan lagi buat malas. Amat pasti nungguin saya di rumah," Riwahyudin memungkasi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya