5 Masalah Penyelenggaraan Haji Ini Jadi Sorotan Menteri Agama

Menteri Agama Lukman Hakim menegaskan, persoalan penyelenggaraan haji tidak lah sederhana.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 04 Okt 2016, 07:30 WIB
Diterbitkan 04 Okt 2016, 07:30 WIB
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menyoroti 5 masalah dalam penyelenggaraan ibadah haji Tanah Air. Kelima masalah ini akan menjadi perhatian pemerintah dalam penyelenggaraan haji mendatang.

"Pertama, bahwa ibadah haji salah satu ibadah umat Islam yang memiliki karakteristik seisi yaitu aktivitas ritual keagamaan begitu beragam," ungkap Lukman di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin 3 Oktober 2016.

Menurut dia, ibadah haji diikuti ritual-ritual yang menambah kekayaan spiritual. Hal itu, lanjut dia, dapat menimbulkan kompleksitas yang tidak sederhana.

Belum lagi soal stamina. "Ibadah haji merupakan ritual keagamaan yang sepenuhnya mengandalkan kesiapan fisik, ketahanan, stamina yang prima. Sementara di sisi lain mayoritas jemaah ibadah haji kita akan terdiri dari para lansia," kata Lukman.

Dia menyebut, pada 2016, jemaah haji yang berusia di bawah umur 50 tahun hanya ada 38,7 persen. Itu artinya, mayoritas sudah lanjut usia. Bahkan, 27 persen di antaranya berusia di atas 61 tahun. Belum lagi jemaah dengan risiko tinggi yang berjumlah 66,7 persen.

Kondisi seperti itu, lanjut dia, mudah menimbulkan persoalan di lapangan.

"Masalah yang ketiga, seluruh rangkaian keagamaan itu dilakukan di negara Saudi Arabia. Ibarat kita punya gawe besar, tapi diselenggarakan di rumah orang yang tentu memilik adat istiadat, budaya, dan regulasi yang berbeda. Ini bisa menimbulkan kompleksitas persoalan," ujar Lukman.

Sementara masalah keempat, terkait semakin besarnya animo masyarakat yang ingin berangkat haji. Sebab, hal itu tidak sebanding dengan kuota haji yang tersedia.

"Ini berimplikasi pada antrean panjang dan persoalan yang tidak sederhana. Kasus Filipina langsung tidak langsung merupakan dampak antrean yang semakin panjang," ucap Lukman.

Masalah yang kelima adalah karakteristik jemaah haji Indonesia yang beragam, khususnya pendidikan.

"Bahwa jemaah haji kita yang pernah bersekolah di SD 38,8 persen, SMP 11,9 persen, dan SMA 23,6 persen. Ini berimplikasi kepada bentuk sosialisasi bagaimana mereka hidup 39 hari kurang lebih disebut begadang orang," terang Lukman.

"Banyak hotel-hotel yang kita sewa misalnya menyediakan fasilitas mesin cuci tapi dalam praktiknya, tidak sedikit fasilitas ini tidak bisa digunakan karena petugas menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ini menunjukkan dengan karakteristik seperti itu, menimbulkan persoalan yang tidak sederhana," sambung Lukman.

Oleh karena itu, dia menegaskan, persoalan penyelenggaraan haji tidak lah sederhana. Yang pasti, lanjut dia, kelima hal tersebut bisa dijadikan kata kunci dalam penyelenggaraan ibadah haji.

"Dengan 5 hal seperti itu yang ingin kami garis bawahi, persoalan penyelenggaraan ibadah haji memiliki dua kata kunci yaitu pengorganisasian dan yang kedua pengoordinasian. Ini terkait dengan hampir 200.000 jemaah haji kita," Lukman menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya