Diperiksa sebagai Tersangka, Gubernur Sultra Tidak Ditahan KPK

Kelar diperiksa selama kurang lebih sembilan jam, Nur Alam masih 'lolos' dari penahanan KPK.

oleh Oscar Ferri diperbarui 24 Okt 2016, 23:17 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2016, 23:17 WIB
20160823- Penyidik KPK Geledah Rumah Gubernur Sulawesi Tenggara-Jakarta- Helmi Afandi
Penyidik memasuki rumah Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di Jalan Mikasa D2, Kuningan, Jakarta, Selasa (23/8). KPK menggeledah rumah tersebut terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi penerbitan izin pertambangan. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam rampung diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diperiksa perdana hari ini sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan SK IUP di wilayah Provinsi Sultra yang menjeratnya.

Kelar diperiksa selama kurang lebih sembilan jam, Nur Alam masih "lolos" dari penahanan KPK. Menurut Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, penahanan tergantung kewenangan penyidik.

"Soal penahanan sepenuhnya menjadi pertimbangan penyidik," ujar Yuyuk di Gedung KPK, Jakarta, Senin (24/10/2016).

Nur Alam sendiri enggan berkomentar terkait pemeriksaan ini. Nur Alam yang mengenakan kemeja batik merah itu malah menyerahkan ke pengacara, Ahmad Rivai. "Tanya ke pengacara saya saja ya," ujar Nur Alam.

Menanggapi pemeriksaan kliennya ini, Rivai mengatakan, penyidik hanya menanyakan seputar tugas pokok dan fungsi Gubernur Sultra. Ada sekitar 20 pertanyaan yang dilontarkan penyidik kepada kliennya.

"Ada 20-an pertanyaan. Pertama tentang biodata. Lalu tugas pokok Gubernur," ucap dia.

Selain itu, lanjut Rivai, kliennya juga dikorek soal penerbitan IUP yang dikeluarkan kepada PT AHB.‎ Menurut Rivai, semuanya dijawab dengan baik oleh Nur Alam dengan terbuka.

"Lalu keluarnya izin dan seterusnya. Bagaimana proses izin pertambangan IUP. Tetapi satu hal, apa yang disampaikan Pak Gubernur tadi semuanya dijawab dengan sangat terbuka dan tidak ada yang ditutupi," ujar Rivai.

Kemudian Nur Alam juga ditanya soal perkenalan Nur Alam dengan sejumlah pihak lain. Seperti Direktur PT Anugrah Harisma Barakah Widdi Aswindi.

Widdi yang juga Direktur Eksekutif Jaringan Suara Indonesia (JSI) sebelumnya telah diperiksa sebagai saksi terkait penerbitan izin usaha pertambangan di Sulawesi Tenggara pada Kamis, 1 September 2016.

"Apakah kenal dengan Widdi dan apakah kenal dengan Ridho (Ridho Isnana, pegawai negeri sipil di Sekretariat Daerah Provinsi Sultra-Red)," kata dia.

Rivai pun membantah kliennya mempengaruhi Ridho dalam memberi kesaksian. Ridho sendiri sebelumnya dijemput paksa lantaran beberapa kali mangkir dari panggilan pemeriksaan penyidik KPK.

"Tidak ada. Tidak ada mempengaruhi saksi, tidak ada sama sekali. Beliau sampaikan apa ada tentang yang bersangkutan. Jadi tidak ada sama sekali, apalagi mempengaruhi," ucap Rivai.

Disambut Pendukung

Adapun, "lolosnya" Nur Alam dari penahanan KPK ini disambut para pendukungnya. Para pendukung Nur Alam telah menunggu di pelataran Gedung KPK sejak siang.

Sebagian pendukung Nur Alam yang merupakan kaum ibu bersorak 'Allahu Akbar' ketika melihat Nur Alam keluar dari Gedung KPK tanpa mengenakan rompi tahanan.

KPK resmi menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan SK IUP di wilayah Provinsi Sultra.

Diduga, Gubernur Sultra 2008-2013 dan 2013-2018 itu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku. Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam mengeluarkan tiga SK kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dari tahun 2008-2014.

Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi. Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut.

Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya