Mahfud MD: Sudah Banyak yang Siap Gugat Hasil Revisi UU Pemilu

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD meminta DPR untuk berhati-hati dalam menyusun revisi Undang-Undang Pemilu.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 19 Jan 2017, 06:36 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2017, 06:36 WIB
20160512- Mahfud MD Datangi KPK-Jakarta-Helmi Afandi
Koordinator Presidium KAHMI, Mahfud MD usai menjadi khatib Jumat di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/5/2016). Mahfud membantah kedatangannya terkait perkara yang sedang terjadi antara HMI dengan Saut Situmorang. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD meminta DPR untuk berhati-hati dalam menyusun revisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu). Alasannya, kata Mahfud, jika hasil revisi itu dianggap melanggar hak konstitusional warga negara atau parpol-parpol tertentu, maka UU tersebut akan rawan digugat ke MK.

"Saya hanya mengingatkan, apapun ini, kalau tidak hati-hati pasti akan digugat. Karena ini menyangkut politik. Politik artinya pembagian kue kekuasaan, yang sudah berkuasa ingin mempertahankannya," ungkap Mahfud di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu 18 Januari 2017.

Bahkan, ia mengaku sudah banyak orang yang memintanya untuk menjadi saksi ahli gugatan revisi UU Pemilu ke MK. Namun, Mahfud menolak karena statusnya yang merupakan mantan hakim konstitusi. Menurut dia, salah satu poin yang rawan digugat ke MK adalah sistem pemilu dan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

"Saya sudah banyak ketemu orang. Minta saya jadi ahli lah, ikut merumuskan, agar misalnya kalau kembali ke tertutup mereka akan menggugat dan saya jadi ahlinya," ucap dia.

"Saya katakan enggak bisa, saya mantan hakim MK enggak mau jadi saksi ahli di pengadilan. Jadi threshold (presidential threshold) sudah ada yang siap menggugat," sambung dia.

Lalu, berkaitan dengan sistem pemilu, Mahfud menjelaskan jika MK tidak pernah mengharuskan dilakukannya sistem proporsional terbuka. Padahal, kata dia, MK hanya menghilangkan syarat 30 persen Bilangan Pemilih Pembagi (BPP) yang ada pada UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.

Dalam Pasal 214 menyebutkan bahwa anggota DPR terpilih ditetapkan berdasarkan urutan suara terbanyak di antara calon-calon legislatif yang memperoleh suara 30 persen atau lebih dari BPP. Syarat 30 persen itu, papar Mahfud, dibatalkan oleh MK karena dianggap tidak adil dan menimbulkan ketidakpastian bagi para pemilih.

"MK tidak pernah mengharuskan sistem pemilu itu sistem proporsional terbuka. Yang menentukan proporsional terbuka selama ini DPR dan pemerintah sendiri. Urusan proporsionalnya terbuka, itu politik DPR dan pemerintah," ujarnya.

"Sehingga kalau sekarang mau tertutup lagi juga sah. Tidak ada sistem pemilu yang tidak konstitusional," imbuh dia.

Menurut Mahfud, sistem pemilu proporsional tertutup cenderung lebih rawan gugatan. Sedangkan presidential threshold rawan gugatan jika ditetapkan angkanya.

"Kalau nol persen berarti semua parpol baru boleh ikut, saya kira tidak akan ada gugatan," terang dia.

Namun, Mahfud enggan membeberkan lebih jauh soal pihak-pihak yang sudah berencana mengajukan uji materi ke MK. Mereka terdiri dari kalangan akademisi, aktivis, LSM, serta partai baru dan partai kecil.

Karena rawan gugatan, Mahfud berharap revisi UU Pemilu bisa rampung dibahas sesuai target, sehingga jika ada permasalahan terkait uji materi juga bisa segera diselesaikan. "JR (judicial review) pasti ada. Belum diundangkan saja orang sudah menyiapkan gugatan kok. Apalagi sudah diundangkan," tukas Mahfud.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya