KPK Periksa Saksi Kasus Suap Pengadaan Mesin Pesawat Pada Januari

Menurut Febri, KPK sudah mempunyai dokumen-dokumen yang cukup kuat untuk menindak lanjuti kasus pengadaan mesin pesawat.

oleh Liputan6 diperbarui 26 Jan 2017, 08:19 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2017, 08:19 WIB
KPK
KPK

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai memeriksa saksi kasus suap pengadaan mesin pesawat pada akhir Januari 2017. Namun, KPK belum berencana memanggil tersangka dalam kasus yang melibatkan mantan Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar itu.

"Tinggal beberapa hari lagi memang. Kami mulai dulu dengan pemanggilan saksi-saksi. Kami belum langsung akan panggil tersangka karena dalam strategi penyidikan kami ingin dalami informasi dari keterangan saksi-saksi," kata Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Rabu 25 Januari 2017.

Menurut Febri, KPK sudah mempunyai dokumen-dokumen yang cukup kuat untuk menindak lanjuti kasus ini.

"Ditambah lagi telah dilakukan penggeledahan di beberapa lokasi dan akan dilakukan pemeriksaan saksi-saksi untuk penyidikan kasus ini," ucap Febri.

KPK juga sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk mencegah lima orang ke luar negeri terkait kasus indikasi suap pengadaan mesin pesawat.

"Yang pertama dua orang tersangka Emirsyah Satar (ESA) dan Soetikno Soedarjo (SS) dan tiga orang saksi, jadi ada lima orang yang sudah dimintakan untuk dicegah ke luar negeri untuk enam bulan ke depan terhitung sejak 16 Januari 2017, untuk mendukung pemeriksaan saksi-saksi dan tersangka dalam proses penyidikan ini," kata Febri seperti dikutip dari Antara.

Tiga orang saksi yang juga dicegah ke luar negeri itu antara lain mantan Direktur Operasional Citilink Indonesia dan mantan Dirut PT Garuda Maintenance Facilities (GMF) Hadinoto Soedigno, mantan Vice President Asset Management Garuda Indonesia Agus Wahyudo, dan Sallyawati Rahardja yang menduduki posisi penting di sejumlah unit usaha di bahwa naungan PT Mugi Rekso Abadi (MRA).

"Menurut penyidik, saksi-saksi ini dalam berbagai kapasitasnya dibutuhkan keterangannya dalam proses penyidikan ini karena diduga mengetahui apakah itu mendengar atau melihat atau menjadi bagian dalam rangkaian peristiwa ini," ucap Febri.

KPK juga menyita sejumlah dokumen dari hasil penggeledahan di lima lokasi di Jakarta Selatan terkait indikasi suap tersebut.

"Penyidik telah menyita sejumlah dokumen terkait dengan data perusahaan di Singapura, data kepemilikan aset, data perbankan, dan barang-barang elektronik yang relevan dengan proses penyidikan ini," kata Febri.

Emirsyah dalam perkara ini diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau senilai total Rp 20 miliar serta dalam bentuk barang senilai 2 juta dolar AS, yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce, terkait pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 pada PT Garuda Indonesia Tbk.

Pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo sebagai beneficial owner dari Connaught International Pte. Ltd, yang berlokasi di Singapura. Soektino merupakan Presiden komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA), satu kelompok perusahaan di bidang media dan gaya hidup.

Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi Serious Fraud Office (SFO) Inggris, sudah dikenai denda 671 juta pounsterling atau sekitar Rp 11 triliun karena pratik suap di beberapa negara antara lain Malaysia, Thailand, China, Brazil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak, Anggola.

Kasus ini berawal ketika KPK menerima laporan dari SFO dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara.

KPK melalui CPIB dan SFO juga sudah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset Emirsyah yang berada di luar negeri.

Emirsyah disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf f atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Sedangkan Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 No 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya