Pasca-OTT Patrialis, Nasdem Minta MK Dijauhkan dari Pencari Kerja

Taufiq mengatakan, jika hakim konstitusi masih kental dengan kepentingan pribadi, maka hasilnya pun akan menimbulkan bencana bagi Indonesia.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 27 Jan 2017, 11:53 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2017, 11:53 WIB
Patrialis Akbar
Taufiq mengatakan, jika hakim konstitusi masih kental dengan kepentingan pribadi, maka hasilnya pun akan menimbulkan bencana bagi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Politikus Partai Nasdem Taufiqulhadi menilai kondisi Mahkamah Konstitusi (MK) kini jauh berbeda, pascakepemimpinan Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Akil Mochtar dalam kasus suap, Rabu 25 Januari lalu, KPK kembali menangkap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, terkait kasus dugaan suap perkara uji materi.

"Hakim MK pascakepemimpinan Pak Jimly Asshiddiqie dan Pak Mahfud MD sangat jauh bedanya, kini makin jauh dari sifat kenegarawanan. Saya mengusulkan, mendatang, jauhkan dulu Mahkamah Konstitusi dari kaum job seeker (pencari kerja) dan figur yang kental afiliasi politisnya," ujar Taufiq di Jakarta, Kamis 26 Januari 2017.

Taufiq mempertanyakan, jika hakim sebuah lembaga pemutus perkara final dan mengikat terjerat korupsi oleh KPK, lantas apalagi yang bisa diharapkan untuk kepentingan keadilan di negeri ini.

"Lembaga ini menuntut materi hakim dengan kualifikasi paling tinggi, yaitu kualitas negarawan yang tidak memiliki kepentingan untuk dirinya lagi. Karena sifat putusan MK adalah final dan mengikat," ujar dia.

Taufiq mengatakan, jika hakim konstitusi masih kental dengan kepentingan pribadi, maka hasilnya pun akan menimbulkan bencana bagi Indonesia.

"Dengan tertangkap tangan anggota hakim MK ini lagi, maka sebenarnya harapan kita terhadap lembaga pemutus kian pesimistis. Sebenarnya ini menunjukkan kualifikasi yang dibutuhkan lembaga ini sulit didapatkan," kata dia.

Menurut Taufiq, lembaga ini sejatinya terlalu tinggi namun integritas hakim yang mengisi terlalu rendah. "Paradoks, meski anggota MK ini dengan kualitas seperti itu dan dengan jumlah sembilan orang, sebuah produk hukum DPR RI hasil pemikiran ratusan orang, sering ditorpedo dengan ringannya."

"Sejauh ini, sepertinya, asal ada materi yang masuk untuk di-JR (judicial review), pasti dikabulkannya," Taufiq menambahkan.

Melalui operasi tangkap tangan (OTT), KPK menangkap 11 orang terkait dugaan suap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Ke-11 orang tersebut kini tengah menjalani pemeriksaan intensif oleh penyidik KPK.

Patrialis Akbar ditangkap di Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada Rabu malam, 25 Januari 2017, sekitar pukul 21.30 WIB. Patrialis diduga tengah ditemani dua perempuan, namun KPK menyebutkan tidak ada gratifikasi seks pada kasus ini.

BHR yang disebut-sebut memiliki 20 perusahaan di bidang impor, diduga sebagai tersangka pemberi suap uang ratusan ribu dolar kepada Patrialis Akbar, agar mengabulkan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Uji materi UU 41 Tahun 2014 tersebut diajukan pada November 2015, yaitu Pasal 36C ayat 1 dan 3, 36D ayat 1 dan 36E ayat 1. Sementara, Patrialis Akbar diduga menerima suap US$20 ribu dan  200 ribu dolar Singapura. Kini Patrialis telah ditahan di Rutan KPK.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya