Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendatangi Mabes Polri, Jakarta Selatan, untuk memperbarui nota kesepahaman atau MoU terkait bantuan sumber daya manusia (SDM) untuk mengamankan saksi dan korban.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, dalam MoU baru tersebut, terdapat beberapa penambahan kerja sama. Salah satunya terkait jumlah personel Polri untuk menjaga keamanan saksi dan korban.
Baca Juga
"Sebab personel yang bekerja di LPSK masih kurang, sehingga kita meminta tambahan dari Polri. Kita meminta sebanyak 50 personel sebab kita hanya memiliki 20 orang saja," ucap Abdul, di Jakarta, Senin (8/5/2017).
Advertisement
Pada kesempatan itu, dia juga membahas soal kompensasi korban aksi terorisme. Dia menilai kompensasi ini seharusnya ditanggung oleh negara.
"Harusnya itu dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tapi harus diputuskan oleh pengadilan. Kita berharap, dalam proses penyidikan sejak awal itu korban sudah didata kerugiannya," tutur Abdul.
Oleh karena itu, lanjut dia, ketika jaksa mengajukan penuntutan data tentang kerugian korban harus sudah disiapkan. Hal tersebut menurut dia, berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
"Tadi beliau (pihak Bareskrim) sudah memberikan arahan supaya pihak Densus dapat berkoordinasi dengan LPSK terkait kerugian yang dialami korban," ujar Abdul.
Selanjutnya, Abdul menambahkan, penghitungan ganti rugi tidak hanya sebatas pengobatan tetapi juga potensi kerugian yang diderita korban. Dalam hal ini, kehilangan mata pencaharian.
"Misalnya dia sakit tidak dapat bekerja lagi, nah mata pencaharian itu juga harus dihitung dalam kategori ganti rugi. Misalnya dia sebulan mendapatkan gaji berapa dari pekerjaannya, kalau sekian bulan tidak bekerja berapa kira-kira kerugiannya," papar dia.
LPSK juga mengimbau kepada Polri agar tidak mempersulit pemberian surat keterangan korban kejahatan terorisme.